Kedua, sekalipun masalah tawuran ini domain kepolisian, tetapi pemerintah kota tetap saja harus terlibat secara lebih proaktif. Sebab realitasnya, pihak kepolisian tak berdaya menghadapinya sendirian. Secanggih apapun peralatan yang mereka miliki, faktanya, tetap saja tak mampu mengantisipasi terjadinya tawuran, bahkan di teritori yang sama.
Tetapi sekalipun begitu, kinerja kepolisian terkait dengan masalah ini, memang agak sulit dimegerti sehingga selalu menjadi sorotan publik. Misalnya, bagaimana kepolisian berjaya membongkar jaringan terorisme yang jauh lebih rumit dan rahasia, tetapi tidak dapat mengantisipasi terjadinya tawuran.
Padahal semestinya tawuran ini lebih mudah diantisipasi karena pada dasarnya adalah peristiwa sosial biasa, dan pada umumnya dipicu oleh kenakalan remaja. Polisi tentu paham bahwa yang namanya tawuran sangat jarang terjadi secara spontan, tetapi selalu ada peristiwa lain yang mendahuluniya. Dengan pasukan intel yang terlatih, tentu tidak sulit untuk mengendusnya.
Selain itu, kepolisian tentu punya peta teritori terkait wilayah-wilayah rawan tawuran di Makassar. Kita saja, masyarakat biasa, hafal wilayah itu sampai enggan melewatinya. Kalau kegiatan teroris saja bisa diendus, mengapa gejala akan terjadinya tawuran, tidak bisa? Apa yang salah?
Ada yang berdalih bahwa kepolisian dapat dengan mudah mengendus kegiatan teroris karena memiliki satuan khusus untuk itu, yakni, Densus 88. Kalau begitu, kita sarankan juga agar kepolisian, khususnya di Kota Makassar, membentuk satuan khusus antitawuran. Dalilnya, tawuran di Makassar sudah sangat mengganggu keamanan dan ketertiban umum.