Bahasa memang acapkali dianggap sepele, kendati bahasa adalah identitas yang berusmbangsih besar pada heterogenitas tanda-tanda. Bahasa pula yang akan mengantar penonton jauh ke dalam isi cerita, baik yang tersirat maupun tersurat.
Adapun pesan tersirat yang saya dapati dalam film ini, jelas tidak jauh-jauh dari motto tanah kelahiran Arung Palakka ini yakni Sumange Teallara. ‘Sumange’ merupakan pengintegrasian antara jiwa dan raga. Sedang kata ‘Tealara’ berarti tidak terpisah, tidak bercerai-berai, yang menggambarkan kebersamaan, kekukuhan dan keyakinan diri. Kita tentu berharap, film Ambo Nai Sopir Andalan menjadi tiang pancang, agar film-film semacam ini semakin serius dan banyak digarap. Film ini bisa menjadi bentuk ajakan atau sarana yang menggandeng wacana ‘menduniakan bugis’. Atau paling tidak, menjadi bukti bahwa ada banyak sekali referensi cerita film yang tergeletak di suatu tempat, di luar Jawa dan Jakarta. Kita hanya perlu menggali lebih dalam. Kita hanya perlu menemukan dan memperkenalkannya ke khalayak luas. (*)
Fadhil Adiyat, mahasiswa jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin. Saat ini menetap di Makassar