FAJAR, MAKASSAR–Hari kasih sayang semestinya bukan simbol agama tertentu. Sejatinya membawa pesan universal.
Meskipun 14 Februari memang identik dengan kasih sayang, bukan berarti hari lain justru terhenti. Kasih sayang mestinya terus terawat, hanya simbolnya yang diperingati setiap Februari.
“Pertanyaannya apa yang salah dari itu, semua agama mengajarkan kasih sayang. Cuma, ada ajaran seolah-olah dimaknai kita mau ikut pada ajaran tertentu. Padahal intinya kasih sayang, ya,” ujar antropolog Universitas Hasanuddin Makassar Tasrifin Tahara ditemui di Kafe Ardan, kemarin.
Membawa agama dan kelompok tertentu, tak akan mendapatkan titik temu secara historis. Secara kultur, bisa saja. Sebab, kasih sayang milik bersama. “Kita harus memilah, ini bukan ajaran agama tertentu,” imbuhnya.
Dalam prinsip kemanusiaan, kasih sayang itu oleh dan untuk siapa saja. Kebutuhan dikasihi dan mengasihi sangat rekat dengan prinsip hakikat hidup manusia. Jika ada satu hari yang menjadi momentum peringatannya, itulah proses integrasi, penguatan memori.
“Memang harus ada, penting ada satu momentum untuk menguatkan integrasi. Mengembalikan makna, memori kolektif. Memang ada satu peristiwa untuk mengintegrasikan kembali. Untuk merekatkan memang harus ada moment, ada hari yang disepakati. Seperti misalnya hari ibu, hari jadian, hari pernikahan,” tutur penulis buku Melawan Stereotipe itu.
Valentine sebagai simbol hari kasih sayang seharusnya bisa diterima oleh siapa pun dan di mana pun. Dalam pemikiran antropologis, ada prinsip resiprositas dalam kebudayaan. Suatu keadaan saling menguntungkan bagi kedua pihak yang terlibat.