Respons ASEAN dan Negara Mitra
Sebagai Ketua ASEAN 2025, Malaysia menyatakan keprihatinan mendalam atas konflik yang terus memburuk di perbatasan Thailand dan Kamboja. Perdana Menteri Anwar Ibrahim mendesak kedua negara untuk segera melakukan de-eskalasi, dan memperingatkan bahwa ASEAN “tidak boleh menjadi saksi pasif di tengah pertumpahan darah antaranggota.”
Seruan serupa datang dari sejumlah negara mitra kawasan. China, Jepang, dan Australia mendorong penghentian kekerasan dan menekankan pentingnya penyelesaian damai melalui jalur diplomatik. Mereka juga menegaskan bahwa stabilitas di Asia Tenggara merupakan bagian penting dari keamanan regional secara menyeluruh.
Namun, di sisi lain, sejumlah analis menilai respons ASEAN masih lamban. Mereka menyebut organisasi ini belum memiliki mekanisme krisis yang kuat untuk menangani konflik horizontal antarnegara anggota. Ketiadaan instrumen pemaksaan dan dominasi prinsip non-intervensi dianggap sebagai penghambat dalam mendorong penyelesaian konkret.
Peran Indonesia sebagai Mediator
Indonesia kembali memegang peran penting seperti yang dilakukan saat krisis 2011. Sejak Mei 2025, Indonesia telah berstatus sebagai pengamat netral di wilayah perbatasan.
Dalam keterangan resmi, Kementerian Luar Negeri RI menyatakan telah menjalin komunikasi dengan kedua pihak dan menyerukan penghentian kekerasan.
Menteri Luar Negeri Sugiono, dalam rapat bersama Komisi I DPR di Senayan pada 30 Juni 2025, menegaskan:
“Indonesia akan selalu terlibat aktif dalam usaha-usaha menciptakan perdamaian dunia. Kami menerapkan politik bertetangga yang baik dalam menghadapi ketegangan kawasan.”