Bentrokan bersenjata menyebar cepat ke enam titik di sepanjang perbatasan. Kedua pihak saling melepaskan tembakan artileri berat, mortir, hingga roket BM21.
Ledakan dilaporkan mengenai beberapa pos militer, rumah warga, dan satu sekolah yang telah dikosongkan.
Kementerian Pertahanan Thailand mengonfirmasi bahwa 12 orang tewas, terdiri atas warga sipil dan prajurit aktif, termasuk seorang anak-anak.
Pemerintah Kamboja belum mengeluarkan data resmi, namun media lokal menyebutkan adanya korban jiwa dan kerugian signifikan di pihak mereka.
Eksodus Warga dan Krisis Kemanusiaan
Sebagai Ketua ASEAN 2025, Malaysia menyatakan keprihatinan mendalam atas konflik yang terus memburuk di perbatasan Thailand dan Kamboja. Perdana Menteri Anwar Ibrahim mendesak kedua negara untuk segera melakukan de-eskalasi, dan memperingatkan bahwa ASEAN “tidak boleh menjadi saksi pasif di tengah pertumpahan darah antaranggota.”
Seruan serupa datang dari sejumlah negara mitra kawasan. China, Jepang, dan Australia mendorong penghentian kekerasan dan menekankan pentingnya penyelesaian damai melalui jalur diplomatik. Mereka juga menegaskan bahwa stabilitas di Asia Tenggara merupakan bagian penting dari keamanan regional secara menyeluruh.
Namun, di sisi lain, sejumlah analis menilai respons ASEAN masih lamban.
Mereka menyebut organisasi ini belum memiliki mekanisme krisis yang kuat untuk menangani konflik horizontal antarnegara anggota. Ketiadaan instrumen pemaksaan dan dominasi prinsip non-intervensi dianggap sebagai penghambat dalam mendorong penyelesaian konkret.