English English Indonesian Indonesian
oleh

Memahami Keberpihakan, Menyegarkan Akal: Belajar dari Perang Iran vs Israel


Memulihkan Rasionalitas, Menjernihkan Pikiran

Kini, saatnya kita menyegarkan akal. Menyegarkan dari racun viralitas yang tak berfaedah. Kita perlu menyucikan pikiran dari polusi “meme” yang tak lebih dari senjata pembodohan. Kita perlu membaca ulang sejarah, menyelami geopolitik, dan memahami akar-akar konflik dengan hati bersih.

Belajarlah dari Republik Islam Iran. Negara itu tidak sempurna. Namun, tak ada satu pun negara Muslim lain yang seberani mereka berdiri menghadapi hegemoni. Mereka dihukum, diboikot, disabotase, tetapi tetap hidup dengan martabat. Mereka mandiri membangun industri, membela Palestina tanpa pamrih, dan tetap menjadi lawan utama Zionisme. Apakah itu bukan keberanian yang patut dikagumi?

Kita boleh tidak sepakat dengan sebagian kebijakan mereka. Namun, bersikap objektif adalah membedakan antara kritik dan kebencian. Objektivitas bukan membisu. Objektivitas bukan netralitas kosong, apalagi bersikap “tidak mau ikut campur”. Sebab, ketidakberpihakan di tengah kezaliman adalah keberpihakan pada penindas.


Keberpihakan sebagai Jalan Spiritualitas

Akhirnya, keberpihakan bukan hanya soal politik, melainkan jalan spiritual. Dalam agama apa pun, berpihak pada yang tertindas adalah panggilan langit. Keberpihakan adalah bentuk tanggung jawab kita sebagai manusia—untuk tidak mati rasa, tidak mati akal.

Dalam perang informasi ini, kita ditantang: apakah kita hanya ingin menjadi pengganda suara mayoritas, atau penyeimbang nalar yang terluka? Apakah kita hanya ingin menjadi penonton yang melempar lelucon, atau saksi sejarah yang berpihak pada keadilan?

Kini, lebih dari sekadar like dan share, kita butuh merenung. Kita butuh mengaktifkan kembali akal yang lama tertidur di balik slogan dan sensasi. Sebab, keberpihakan yang jujur adalah obat dari segala kekacauan logika.

News Feed