Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisip Unhas
Dalam negara demokrasi, fungsi dan peran lembaga legislatif—seperti DPR—didesain sebagai representasi langsung dari kehendak rakyat agar negara dikelola sebagaimana mestinya.
Namun, dalam praktik politik Indonesia mutakhir, keberadaan legislator di Senayan makin jauh dari akar kerakyatan tersebut. Fungsi representasi yang seharusnya menjadi ruh kerja parlemen justru kian tereduksi oleh pragmatisme politik dan kooptasi kekuasaan eksekutif melalui koalisi kekuasaan.
Problem tersebut mencuat dalam konteks sistem presidensialisme multipartai kita yang unik. Koalisi besar yang menyelimuti parlemen justru menghapus mekanisme checks and balances. Mayoritas fraksi terlibat dalam koalisi pemerintah, membuat DPR kehilangan daya kritis dalam mengawasi eksekutif. Akibatnya, fungsi kontrol melemah, dan parlemen berubah menjadi lembaga “pengabsah kebijakan”, bukan mitra penguasa yang kritis.
Telah diingatkan oleh pakar politik LIPI, Siti Zuhro, bahwa “koalisi gemuk di parlemen adalah paradoks demokrasi. Bukannya memperkuat fungsi representasi (kerakyatan), justru akan membuat parlemen kehilangan daya kritisnya.” Peran DPR kini lebih dominan dalam merawat harmoni kekuasaan ketimbang memperjuangkan aspirasi konstituen.
Persoalan kerap muncul dalam proses legislasi. Produk hukum acap kali disusun tanpa partisipasi publik yang memadai, dibahas dalam waktu singkat, dan disahkan dengan sedikit perdebatan. UU Cipta Kerja adalah contoh paling mencolok. Dibahas dengan cepat, disahkan di tengah malam. Akibatnya, langsung menuai reaksi keras dari masyarakat sipil. Namun, proses legislasi terus berlangsung; “laksana Anjing menggonggong, kapilah penguasa tetap berlalu”.
Hukum positivistik
Kondisi tersebut mencerminkan pendekatan hukum yang positivistik yakni sekadar mematuhi prosedur formal tanpa memperhatikan dimensi moral dan keadilan substansial. Padahal, telah diingatkan oleh pakar sosiologi hukum almarhum Satjipto Rahardjo, bahwa “hukum (undang-undang) bukanlah sekadar teks, tetapi ekspresi nilai keadilan.” Jika hukum hanya dipandang sebagai kesepakatan elite politik, maka ia berisiko menjadi alat kekuasaan, bukan instrumen keadilan.
kritik tajam datang dari para pemikir hukum kritis seperti Gustav Radbruch dan Ronald Dworkin. Radbruch bahkan menyatakan bahwa hukum yang sangat tidak adil, tidak bisa dianggap sebagai hukum. Dalam konteks Indonesia, pendekatan yang terlalu legal-formal menyebabkan substansi hukum tercerabut dari nilai-nilai moral, sebagaimana tampak dalam banyak peraturan yang mengabaikan aspirasi masyarakat sipil.
Dalam teori demokrasi deliberatif, seperti yang dikembangkan oleh Jurgen Habermas, legislasi idealnya merupakan produk dari diskursus publik yang rasional. Artinya, proses legislasi bukan semata soal kuasa mayoritas, tetapi juga mendengarkan suara-suara minoritas dan membangun konsensus berdasar argumentasi yang rasional. Namun dalam praktik di Senayan, proses pembentukan UU sering kali tidak memenuhi prasyarat deliberatif tersebut
Tidak representatif
Lemahnya fungsi representasi DPR tak lepas dari proses rekrutmen politik yang lebih menekankan loyalitas dan popularitas ketimbang kapasitas dan komitmen kerakyatan. banyak legislator tidak memiliki latar belakang pemahaman legislatif yang memadai, sehingga mudah diarahkan oleh garis partai atau kepentingan kekuasaan.
Tren ini menurunkan legitimasi DPR di mata publik. Survei Indikator Politik Indonesia beberapa tahun terakhir menunjukkan DPR berada di posisi bawah dalam hal kepercayaan publik, jauh di bawah TNI, bahkan Polri. Ini menunjukkan krisis representasi yang serius: rakyat merasa tak lagi diwakili secara utuh oleh parlemen. Fenomena ini membuat posisi DPR menjadi subordinat dari kekuasaan eksekutif. Fraksi-fraksi di DPR lebih memilih loyal kepada mitra koalisi dalam pemerintahan daripada menjalankan fungsi kontrol secara kritis. Demokrasi yang sehat mensyaratkan adanya pemisahan kekuasaan dan saling kontrol antar-cabang pemerintahan. Jika legislatif larut dalam koalisi kekuasaan, maka ruang demokrasi menyempit, dan rakyat kehilangan instrumen korektif terhadap pemerintah.
Momentum ini harus menjadi titik balik untuk mengembalikan peran substantif DPR. Perlu pembenahan serius dalam sistem koalisi, mekanisme legislasi, dan pola rekrutmen politik. Fraksi-fraksi harus didorong untuk lebih independen, terbuka terhadap publik, dan menjalankan fungsi pengawasan dengan tegas.
Filsuf politik John Stuart Mill, telah mengingatkan bahwa kekuasaan yang tidak diawasi berpotensi menjadi tirani. DPR seharusnya menjadi benteng rakyat, bukan pagar kekuasaan. Maka mempertanyakan peran kerakyatan legislator di Senayan bukan bentuk sinisme, tetapi panggilan untuk memperbaiki kualitas demokrasi kita. Wallahu a’lam bisawwabe. (*)