Oleh: M. Yunasri Ridhoh
Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FEB UNM
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menjawab satu dari sekian pertanyaan besar dalam tata kelola pemilu di Indonesia: apakah pemilu lima bilik suara—yang dilaksanakan serentak dalam satu hari—masih relevan dan sehat untuk demokrasi kita?
Melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang diucapkan dalam Sidang Pengucapan Putusan pada tanggal 26 Juni 2025 , MK memutuskan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah harus dipisah dengan jarak paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan. Amar putusan ini membatalkan makna serentak yang selama ini dipahami dan dipakai dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dan menyatakan bahwa keserentakan secara menyeluruh bukan lagi menjadi prinsip pelaksanaan pemilu yang konstitusional.
Putusan ini merupakan respons atas permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang dalam petitumnya menilai pemilu lima kotak atau bilik suara telah membawa dampak sistemik terhadap pelembagaan partai politik, penurunan kualitas kandidat, dan melemahnya efektivitas pemilu sebagai instrumen kedaulatan rakyat.
Dalam praktiknya, keserentakan pemilu yang dimulai sejak 2019 lalu mesti diakui membawa dampak berupa beban besar bagi sistem politik dan administrasi pemilu kita. Partai politik dipaksa mencalonkan kandidat di semua level, dari presiden hingga anggota DPRD kabupaten/kota, dalam waktu dan tahapan yang hampir bersamaan. Hasilnya adalah proses pencalonan yang cepat, pragmatis, dan minim kaderisasi.
Ada Apa dengan Pemilu Sebelumnya?
Pemilu 2019 mencatat tragedi: lebih dari 800 petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) meninggal dunia karena kelelahan akibat durasi kerja yang ekstrem. Pada Pemilu 2024, meski mitigasi teknis ditingkatkan, tekanan logistik, akumulasi beban administratif, dan lamanya proses penghitungan suara tetap menjadi persoalan besar.
Fenomena ini menunjukkan bahwa efisiensi teknis bukanlah satu-satunya parameter dalam merancang sistem elektoral. Pemilu bukan sekadar prosedur formal, tetapi sebuah mekanisme yang super kompleks yang menyangkut keadilan politik, legitimasi kekuasaan, dan jaminan terhadap hak-hak sipil setiap warga negara.
Dengan memisahkan pemilu nasional dan daerah, MK pada dasarnya sedang mengembalikan ruang waktu yang dibutuhkan oleh demokrasi untuk bekerja secara lebih terukur dan terencana. Demokrasi tidak bisa dikejar waktu. Ia perlu napas panjang, ruang diskusi, dan waktu yang cukup untuk menilai calon, membedah program, serta membangun relasi antara pemilih dan yang dipilih.
Salah satu argumen utama dalam putusan MK ini berkaitan dengan pelembagaan partai politik. Dalam sistem pemilu lima bilik, partai politik tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan seleksi internal yang sehat. Sebaliknya, mereka cenderung membuka pintu lebar-lebar bagi tokoh populer atau kandidat dengan kemampuan finansial besar yang bisa mendanai sendiri kampanyenya.
Model seperti ini memperlemah fungsi kaderisasi dan menimbulkan efek jangka panjang: partai hanya menjadi “ojek elektoral” atau “kendaraan rental”, bukan institusi ideologis yang berfungsi mendidik, mengorganisasi, dan merekrut pemimpin masa depan. Pemisahan waktu pemilu memberi partai waktu yang lebih proporsional untuk menyeleksi calon berdasarkan kualitas, bukan hanya elektabilitas sesaat.
Dalam jangka panjang, keputusan ini berpotensi memperbaiki iklim kompetisi elektoral. Ketika pemilu presiden, DPR, dan DPD dilaksanakan lebih awal, maka pemilu daerah yang menyusul bisa menjadi ajang evaluasi atas hasil-hasil pemerintahan pusat. Demikian pula sebaliknya, pemilih bisa menilai kinerja wakil-wakil mereka di tingkat lokal tanpa kebisingan politik nasional.
Kritik terhadap keputusan MK tentu muncul. Salah satu yang paling sering diangkat adalah soal efisiensi anggaran dan potensi fragmentasi politik. Melaksanakan dua kali pemilu dalam periode lima tahun dianggap akan memperbesar beban keuangan negara dan memperpanjang ketegangan sosial-politik di masyarakat.
Namun, argumen ini sebaiknya tidak dilihat secara sempit. Biaya politik yang mahal bukan hanya berasal dari jumlah pemilu, tetapi juga dari kualitas hasilnya. Demokrasi yang buruk justru lebih mahal—biaya sosial dari konflik, ongkos ekonomi dari pemimpin yang tidak kapabel, dan risiko hukum dari praktik politik uang yang subur karena partai tidak punya waktu membangun basis kader.
Selain itu, pemisahan pemilu memberi ruang bagi penyelenggara untuk lebih fokus. KPU, Bawaslu, dan DKPP dapat mengalokasikan tenaga, anggaran, dan sistem pengawasan secara lebih efektif pada satu jenis pemilu dalam satu periode. Hal ini akan berdampak pada akurasi hasil, efisiensi teknis, dan peningkatan kepercayaan publik.
Langkah Awal Reformasi Demokrasi
Namun, perlu dipahami bahwa pemisahan pemilu bukanlah solusi tunggal. Ini hanya langkah awal dalam rangka reformasi sistem demokrasi elektoral kita. Jika partai tidak melakukan pembenahan internal, jika politik tetap dikuasai oligarki modal, dan jika masyarakat sipil tidak memperkuat pendidikan politik, maka jeda dua tahun itu hanya akan menjadi ruang kosong yang diisi dengan pragmatisme baru.
Demokrasi memerlukan lebih dari sekadar perubahan jadwal. Ia butuh perubahan budaya, struktur, dan cara berpikir. Putusan MK ini membuka ruang untuk itu, tetapi mengisinya adalah tanggung jawab kolektif kita semua—partai, negara, penyelenggara, dan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Dengan jeda ini, semoga demokrasi kita benar-benar dapat sehat. (*)