Lebih lanjut, ia menyatakan pencegahan trauma bukan hanya tanggung jawab individu, melainkan kerja kolektif. Orang tua, guru, dan lingkungan sosial anak harus terlibat aktif dalam menciptakan suasana yang aman dan suportif.
“Trauma tidak bisa dikhawatirkan hanya dengan waktu. Diperlukan dukungan sistemik dan pendekatan yang holistik,” tambahnya.
Orang tua sebagai sosok yang paling dekat dengan anak-anak, memiliki peran sentral dalam menciptakan iklim rumah yang sehat secara emosional. Komunikasi yang terbuka, empati, dan konsistensi dalam pola asuh sangat membantu anak merasa aman dan dihargai.
“Ini menjadi benteng awal yang efektif dalam mencegah timbulnya trauma. Selain keluarga, pihak sekolah juga harus berperan aktif. Guru dapat menjadi pihak pertama yang mengenali tanda-tanda trauma melalui perubahan perilaku anak di kelas,” ucapnya.
Pelatihan dasar bagi tenaga pendidik mengenai kesehatan mental anak yang dinilai penting agar intervensi dapat dilakukan sejak dini. “Jika trauma pada anak sudah cukup berat, maka pendampingan dari psikolog atau psikiater sangat diperlukan,” tuturnya.
Psikolog Klinis RS Mitra Husada, Dra. Rr. Evy Rakryani, Psikolog, mengungkapkan pentingnya edukasi masyarakat mengenai dampak jangka panjang trauma masa kecil, seperti gangguan kecemasan, depresi, dan kesulitan dalam menjalin hubungan sosial saat dewasa.
“Banyak masalah psikologis pada orang dewasa bermula dari luka batin yang tidak terselesaikan saat masih anak-anak,” ungkapnya.
Dengan perhatian yang tepat sejak dini, anak-anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang kuat secara mental dan emosional. “Intinya, ini adalah kerja kolektif. Anak tidak bisa pulih sendiri. Perlu dukungan kuat dari keluarga dan profesional,” tutupnya. (wis/lin)