English English Indonesian Indonesian
oleh

Pemerasan LSM dan Teori Pejabat Menyimpang

AKSI Muhlis, anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bidik, viral di media sosial (medsos). Dengan congkak, dia menodong Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) Duko 1, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

Dengan gaya melebihi penyidik KPK, kepolisian, dan jaksa, Muhlis memaksa kasek menunjukkan laporan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Aksinya sangat arogan menyulut emosi guru dan warganet yang menyaksikan videonya.

Sebenarnya, tindakan LSM mengusut dugaan korupsi sah-sah saja. Mekanismenya tentu dengan cara-cara profesional dan tak main ancam. Sebab, bukan tak mungkin di suatu instansi atau sekolah, ada tindakan korupsi di dalamnya.

Kemudian menjadi tidak sah, lantaran upayanya menguak penggunaan anggaran dimanfaatkan untuk tujuan pribadi dan atau kelompok. Alih-alih hendak mengusut, “temuan” hanya digunakan sebagai “alat” memeras pejabat, termasuk kepala sekolah.

Situasi ini sebenarnya dialami hampir semua kepala sekolah. Bahkan kepala desa (kades) pun kerap menjadi sasaran mereka. Macam-macam kedok mereka. Kadang datang mengaku sebagai LSM, kerap juga mengeklaim sebagai wartawan. Bahkan ada pula yang mengaku gabungan keduanya: LSM dan wartawan.

Di Wajo, Bone, Luwu, Pangkep, Bulukumba, dan sejumlah daerah lain, aksi main palak dari LSM dan wartawan palsu (wartawan abal-abal, gadungan, bodrex, dan macam-macam penyebutannya) membuat banyak kasek, kades, dan pejabat gerah.

Alasan datang wawancara dan mencari data, ujung-ujungnya minta bayaran. Padahal, jika murni mencari data dan hendak wawancara, tak ada alasan pembenar untuk melakukan tindakan pemaksaan. Bagi wartawan, pihak yang menolak wawancara tetap dihargai sebagai bagian dari penghargaan atas kode etik.

News Feed