English English Indonesian Indonesian
oleh

Syahwat Kalahkan Adat dalam Kasus Menantu Hamili Mertua

SOPPENG, FAJAR– Nilai-nilai makin luntur. Rambu-rambu hidup itu kerap kalah oleh syahwat.

Sebuah peristiwa memprihatinkan sekaligus menggemparkan terjadi di Kabupaten Soppeng. Seorang pria berinisial BR diduga melakukan hubungan terlarang dengan ibu mertuanya sendiri, FR (36) hingga melahirkan anak dari hubungan tersebut.

Tragisnya, BR kemudian menceraikan istrinya yang berinisial AL (21), yang tak lain adalah anak kandung dari FR. Peristiwa ini terjadi di Dusun Taccampu, Desa Abbanuange, Kecamatan Lilirilau, dan diperkirakan berlangsung sejak awal 2024.

Informasi yang dihimpun menyebutkan hubungan terlarang itu berlangsung secara diam-diam, hingga akhirnya terbongkar setelah FR melahirkan. Saat ini, BR sudah menceraikan AL, dan hubungan rumah tangga yang semula berjalan normal pun hancur.

Kasus ini tidak hanya mengguncang keluarga besar yang terlibat, tetapi juga menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat. Warga setempat mengaku kaget dan tidak menyangka.

Mereka tak habis pikir peristiwa seperti ini bisa terjadi di lingkungan mereka yang dikenal religius dan menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Peristiwa berlatar asmara segi tiga ini pun viral se-Indonesia.

Sejumlah akun-akun besar mengunggahnya dengan narasi macam-macam. “Suamiku direbut ibuku”, “Mertuaku idolaku”, “Ibuku pelakor”, dan sejumlah istilah lain dilekatkan warganet atas peristiwa yang tak lazim itu.

Norma Sosial

Sosiolog dari Universitas Negeri Makassar (UNM) Idham Irwansyah menilai kasus ini merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap norma sosial, budaya, dan adat yang berlaku dalam masyarakat Sulsel.

Dalam tradisi Bugis, khususnya, hubungan antara menantu dan mertua dianggap tabu dan termasuk dalam kategori inses, meskipun dalam ilmu biologi mengalami pembatasan makna untuk hubungan sedarah. Bisa jadi itu adalah metafora, bahwa menantu dan mertua sejatinya adalah hubungan orang tua dan anak.

Dalam adat leluhur dan tata nilai masa lampau, pelaku bisa mendapatkan sanksi berat baik secara sosial maupun adat. Bahkan di sejumlah daerah pada zaman dahulu, pelaku biasanya mendapat hukuman dilarung ke laut atau lubuk.

“Ini bukan hanya pelanggaran moral, tetapi juga pelanggaran terhadap sistem nilai yang selama ini dipegang kuat oleh masyarakat Bugis,” jelas Idham kepada FAJAR, Jumat, 23 Mei 2025.

Edukasi Nilai

Intervensi sosial yang menyeluruh sangat penting, termasuk edukasi norma melalui pendidikan formal maupun nonformal. Juga dibutuhkan revitalisasi nilai-nilai lokal dalam keluarga dan komunitas.

Diperlukan langkah-langkah konkret dari pemerintah, tokoh agama, dan tokoh adat untuk memperkuat nilai-nilai keluarga dan budaya lokal.

“Penegakan hukum juga harus dilakukan sesuai regulasi yang berlaku, agar ada efek jera dan mencegah kasus serupa terulang,” tegas Idham.

Lost Control

Psikolog Universitas Hasanuddin (Unhas) Istiana Tajuddin menilai kasus ini menunjukkan betapa lemahnya pengendalian diri dari pelaku. Tindakan menyimpang semacam ini terjadi ketika seseorang gagal mengelola diri.

Kegagalan mengendalikan dorongan hawa nafsu, meski mereka sadar telah melanggar norma, adat, bahkan hukum. Ini dipicu ketika seseorang terbiasa menanggapi dorongan secara instan tanpa proses berpikir panjang, maka kontrol dirinya akan makin lemah.

“Fungsi eksekutif dalam otak, yaitu bagian yang mengatur penilaian, perencanaan, dan pengambilan keputusan tidak digunakan secara optimal,” jelas Istiana.

Ia juga mencurigai adanya pengaruh dari informasi yang dikonsumsi oleh pelaku, seperti konten digital atau media yang memperkuat hasrat seksual. Dalam era keterbukaan informasi saat ini, akses terhadap konten seksual sangat mudah dan tidak terkontrol, yang jika dikonsumsi terus-menerus dapat memengaruhi persepsi dan perilaku individu.

“Tanpa filter nilai yang kuat, informasi semacam itu bisa mendorong tindakan impulsif, termasuk dalam konteks hubungan keluarga,” tambahnya.

Hilangnya empati dari pelaku terhadap keluarga mereka sendiri juga menjadi soal tersendiri. Dalam kasus ini, BR tidak hanya mengkhianati istrinya, tetapi juga menghancurkan hubungan ibu dan anak yang seharusnya menjadi fondasi kasih sayang dan perlindungan.

“Ketika hawa nafsu mendominasi, maka empati dan kasih terhadap sesama, bahkan terhadap anak dan pasangan sendiri, dapat hilang. Yang dipikirkan hanyalah bagaimana memenuhi keinginan sesaat,” bebernya.

Tumbangnya
Ikatan Sakral

Dosen Psikologi Sosial UNM Muhammad Rhesa mengurai kejadian di Soppeng itu adalah kasus ekstrem. Keluarga dengan sistem yang sehat adalah mereka yang memiliki batasan peran yang jelas senagai anak, orang tua, dan istri.

“Dalam kasus ini, permasalahan peran ini bisa menjadi salah satu penyebab sehingga hasrat biologis lebih menguasai dibanding peran anggota keluarga dan prinsip moral,” urai Rhesa.

Kejadian “menyimpang” dari umum ini bisa pula terjadi karena adanya dinamika oedipus complex terbalik, yaitu ketertarikan pada figur keibuan dalam bentuk yang keliru.

“Sang anak yang sekaligus sebagai istri akan merasa kecewa, sedih, marah, dan muak karena dikhianati oleh dua orang sebagai figur utama dalam kehidupannya, yaitu ibu dan suami,” lanjut Rhesa.

Untuk ke depan, konseling dan terapi dubutuhkan bagi ketiganya. Bagi ibu, perlu konseling moral untuk mendalami motifnya serta konsekuensi sosialnya. Dalam pendekatan psikodinamika dapat didalami kebutuhannya yang paling dalam, perasaan luka masa lalu, serta distorsi afeksi.

Bagi suami, butuh terapi keluarga untuk bertanggung jawab menghadapi kerusakan sistem keluarga yang telah dihancurkannya.

Bagi anak/istri sah, perlu diterapi jika mengalami trauma berat, dipisahkan dari kedua orang, yaitu suami dan ibunya, serta dukungan sosial dari kingkungannya.

Kehormatan

Dalam struktur masyarakat Bugis, hubungan kekeluargaan memiliki ikatan emosional dan simbolik yang sakral. Ketika ikatan itu dilanggar, maka yang rusak bukan hanya hubungan individu, tetapi juga kehormatan keluarga dan masyarakat.

Penyebab dari kasus ini bisa berasal dari dua faktor utama: faktor individu dan faktor sosial. Dari sisi individu, pelaku bisa saja mengalami ketidakseimbangan emosional, dorongan seksual yang tidak terkendali, atau bahkan masalah psikologis yang belum tertangani.

Sementara itu, dari sisi sosial, kasus ini bisa mencerminkan kegagalan keluarga dalam membina nilai-nilai dasar kehidupan, kurangnya pendidikan seksual, serta melemahnya kontrol sosial akibat modernisasi dan globalisasi.

“Krisis nilai ini diperparah oleh keterbatasan edukasi yang kontekstual mengenai relasi dan moralitas di tengah keluarga. Tradisi yang dulunya kuat kini mulai terkikis oleh nilai-nilai baru yang belum tentu sesuai dengan struktur budaya lokal,” ujar Sosiolog UNM Idham Irwansyah. (edo/zuk)

Mertua
Rebut
Suami

Kronologi
-Awal 2024 BR (suami) menjalin hubungan dengan FR (mertua)
-Saat itu, BR merupakan suami dari AL (21)
-Lantaran serumah, hubungan mereka makin leluasa
-Hingga akhirnya FR hamil hingga melahirkan

Tindakan Aparatur
-Memediasi keluarga laki-laki dan perempuan
-Kedua belah pihak berdamai
-Kasus diselesaikan secara kekeluargaan

Tindak Lanjut
-BR menceraikan AL
-Kini menunggu surat cerai keluar dari PA
-BR dan FR dinikahkan

Lokasi
Dusun Taccampu, Desa Abbanuange, Kecamatan Lilirilau, Kabupaten Soppeng

Lebih Bijak
-Tak ada emosi meluap dalam kasus ini
-Kasus ditangani dengan kepala dingin
-Semua pihak legawa
-Ini menjadi potret kedewasaan dua pihak keluarga

News Feed