“Implasi terkendali, itu memang benar. Tapi yang jadi masalah sekarang adalah lemahnya daya beli masyarakat dan banyaknya dana yang tertahan di perbankan,” ungkapnya.
Sutardjo menjelaskan bahwa saat ini terdapat dana likuid yang cukup besar di perbankan – bahkan disebut mencapai lebih dari Rp8.000 triliun namun belum dimanfaatkan oleh peminjam. Ada dana besar yang sudah siap, tapi tidak dimanfaatkan karena para pelaku usaha takut ambil risiko.
“Mereka khawatir terhadap suku bunga yang bisa naik lagi, juga karena situasi politik dan ekonomi belum pasti,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menyoroti fenomena ‘uang mengendap’ karena pelaku usaha dan investor ragu untuk melakukan ekspansi. Bahkan banyak pinjaman yang sudah disetujui, tapi belum dicairkan karena pelaku ekonomi masih menunggu kepastian.
“Mereka lebih memilih instrumen investasi keuangan seperti emas atau surat berharga negara, yang saat ini masih memberikan imbal hasil tinggi,” tambahnya.
Menurut Sutardjo, permasalahan utama bukan hanya soal suku bunga, melainkan lebih kepada ketidakpastian sistemik baik dari sisi hukum, birokrasi, maupun kepastian proyek-proyek infrastruktur. Kalau APBN dan APBD lambat dicairkan, dana antara tidak dilepas, dan proyek swasta belum bergerak, uang akan tetap diam. Ini bukan hanya soal moneter, tapi juga soal keberanian pemerintah mempercepat belanja dan menstimulasi ekonomi riil.
Ia juga mengingatkan bahwa penurunan bunga belum tentu langsung berdampak pada lonjakan konsumsi masyarakat. Justru, kondisi ini membuka ruang bagi lonjakan harga emas dan potensi pengalihan dana ke instrumen non-produktif.