“Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014, tanggung jawab angkutan massal berada di pundak pemerintah daerah. Sayangnya, hanya Jakarta yang dinilai memiliki kapasitas fiskal untuk membangun moda angkutan seperti MRT atau LRT,” ujar Djoko.
Keterbatasan juga terjadi dalam penyediaan sarana transportasi dan biaya operasional. Contohnya, program Bus Rapid Transit (BRT) Bandung Raya yang masih menghadapi banyak kendala dari sisi pendanaan. Pemerintah pusat belum memberi dukungan memadai, baik dalam aspek hukum maupun anggaran.
Sementara itu, program Buy The Service (BTS) dari Kementerian Perhubungan yang berjalan sejak 2020 justru menunjukkan tren penurunan anggaran.
Dari Rp582,98 miliar pada 2023, turun menjadi Rp437,89 miliar pada 2024, dan hanya Rp177,49 miliar pada 2025. Padahal, kota-kota yang perlu dibenahi mencapai 90 wilayah, belum termasuk kabupaten dan daerah aglomerasi.
Di berbagai negara, pembangunan angkutan umum massal ditopang kuat oleh pendanaan pemerintah pusat.
“Brazil memberi dukungan 95 persen, Jerman dan India 90 persen, Kolombia 70 persen, dan Meksiko 50 persen. Di Indonesia, dukungan seperti ini masih bersifat proyek per proyek dan belum menyeluruh,” sambung Djoko.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 sebenarnya telah menempatkan pembangunan angkutan umum sebagai prioritas.
Tiga arah kebijakan sektor transportasi dirumuskan: efisiensi konektivitas pelayaran dan penerbangan, integrasi moda transportasi, serta mewujudkan kota cerdas dan sistem transportasi berkelanjutan.