Ada dua tantangan yang dihadapi oleh RMB untuk menjadi mata uang utama dunia, yaitu: pertama, tantangan yang berkaitan dengan kebijakan pengendalian lalu lintas modal (capital control) yang ketat dan kebijakan nilai tukar tetap (fixed exchange rate regim).
Hal ini sejalan dengan Frankel (2011), ekonom Harvard Kennedy School, AS dan Prasad (2021) ekonom Cornell University, AS menjelaskan bahwa peran RMB akan selalu lebih kecil dari dolar AS dan tidak akan mendominasi transaksi internasional tanpa kebebasan aliran modal dan penerapan regim nilai tukar fleksibel.
Masalah utama China berkaitan dengan capital account convertibility. Dimana RMB tersedia dalam jumlah cukup untuk setiap saat secara bebas dikonversi ke dolar AS. Saat ini, pemerintah China membatasi jumlah aliran modal keluar dan masuk ke China. Pembatasan juga dilakukan berkaitan dengan tempat dan waktu penukaran.
Kedua, institusi politik China yang tertutup (eksklusif). Hal ini sejalan dengan Acemoglu dan Robinson (2012) peraih hadiah nobel ekonomi tahun 2024 yang menyatakan bahwa kemajuan ekonomi dalam jangka panjang hanya dapat dicapai dengan institusi yang inklusif, memberikan kebebasan kepada setiap orang berpendapat.
Sehingga, dalam jangka pendek, pertumbuhan ekonomi tinggi China dapat dicapai tetapi sampai batas tertentu, tanpa perubahan institusi politiknya, pertumbuhan ekonominya akan melambat. Fenonenanya mulai terasa dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi China menurun dan diprediksi hanya 4,0 persen tahun 2025.