EDWARD AS
KOTA MAKASSAR
Matahari siang itu membakar langit Makassar dengan bara yang nyaris tak berampun. Udara panas berembus malas, seakan lelah mengejar waktu. Namun di sebuah rumah sederhana di Kecamatan Biringkanaya, ada seberkas keteduhan yang membaur bersama aroma kain tenun dan suara mesin jahit yang berdengung pelan.
Di sana, seorang perempuan bernama Irtani Irbar Zoleng atau yang lebih akrab dipanggil Intan tengah sibuk menekuni pekerjaannya. Tangannya lincah mengukur sehelai kain tenun sultan, khas dari tanah leluhurnya, Tana Toraja. Wajahnya teduh, seolah mampu menahan seluruh hiruk-pikuk dunia di balik sebuah senyum kecil.
Ketika tamu datang, Intan menyambut dengan ramah. Di sekelilingnya, koleksi busana adat Toraja tergantung rapi; aneka warna dan motif yang masing-masing menyimpan cerita. Sambil menunjukkan satu demi satu hasil karyanya, Intan pun mulai menuturkan kisah yang membentuknya, dari serpihan kehilangan hingga akhirnya menenun mimpi yang kini perlahan membesar.
Perjalanan itu tidak pernah mudah, apalagi instan. Tidak ada keajaiban yang tiba-tiba menjatuhkan kemampuan menjahit ke pangkuannya. Semuanya bermula dari sebuah kehilangan.
Pada tahun 2011, sebulan sebelum ia diwisuda sebagai sarjana Teknik Perkapalan Universitas Hasanuddin, ibunya berpulang. Dunia Intan yang kala itu masih muda dan penuh harapan, seolah runtuh. Namun, hidup menuntut untuk terus berjalan.
Ia mencoba bertahan, meniti karier di berbagai bidang dari tahun 2011 hingga 2018. Intan bekerja serabutan, berpindah-pindah, bahkan sempat merantau ke Kalimantan. Ada masa-masa ia hampir melupakan mimpinya sendiri, tergilas roda kehidupan.