English English Indonesian Indonesian
oleh

Jangan Marah pada Rakyat

Oleh: Akbar Mangenre Kurusi, S.I.P.,M.Tr.A.P
Pemerhati Tata Kelola Pemerintahan & Etika Publik/ASN di Sekretariat DPRD Sulsel

Beberapa waktu lalu, beredar luas di media sosial sebuah video seorang wali kota memarahi warga pengguna jalan karena melanggar rambu lalu lintas. Sang pejabat turun langsung ke jalan, dan dengan nada tinggi, menegur pengendara yang salah jalur. Aksi itu menuai reaksi: ada yang menyebutnya tegas, tapi banyak pula yang menilai tindakan tersebut berlebihan.

Peristiwa semacam ini bukan pertama terjadi. Ada kecenderungan di kalangan pejabat publik kita untuk menunjukkan emosi kepada rakyat ketika ada pelanggaran. Padahal, rakyat sudah hidup dalam sistem yang jelas. Sejak lahir hingga meninggal, dari keluar rumah hingga kembali ke rumah, aturan yang mengikatnya sangat terang benderang. Jika salah, maka ada aturan dan sanksi yang bisa diterapkan. Tidak perlu marah. Tidak perlu “ngegas”. Cukup jalankan sistem dan aturan secara adil dan konsisten.

Hubungan rakyat dan pemerintah

Penting untuk dipahami bahwa dalam sistem demokrasi yang kita anut, rakyat dan pemerintah memiliki hubungan yang saling bergantung. Rakyat memberikan mandat kepada pemerintah untuk menjalankan kekuasaan demi kesejahteraan bersama. Sebagai imbalannya, pemerintah berkewajiban untuk melayani rakyat dengan adil, bijaksana, dan penuh tanggung jawab.

Hal tersebut adalah cerminan dari teori kontrak sosial yang dikemukakan oleh John Locke, di mana negara terbentuk berdasarkan kesepakatan antara rakyat dan pemerintah. Rakyat memberikan mandat kepada pemerintah dengan syarat bahwa pemerintah harus menjamin hak-hak rakyat. Jika pemerintah gagal memenuhi kewajibannya, rakyat berhak menarik kembali mandat tersebut.

Oleh karena itu, pemerintah bukanlah penguasa yang dapat bertindak sewenang-wenang. Sebaliknya, pemerintah bertugas untuk mendengarkan kebutuhan rakyat dan bekerja untuk kebaikan rakyat. Ketika ada pelanggaran atau kesalahan, tugas pemerintah bukan untuk marah kepada rakyat, tetapi untuk memberikan solusi yang tepat dan memperbaiki keadaan dengan cara yang membangun dan menghargai martabat semua pihak.

Pada pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Maka, sudah semestinya pemerintah memandang rakyat sebagai mitra, bukan sebagai objek yang layak dimarahi. Ketika ada pelanggaran, itulah saatnya negara hadir secara bijaksana, bukan emosional. Rakyat yang melakukan kesalahan bukanlah musuh, tetapi mereka adalah bagian dari masyarakat yang juga berhak mendapatkan pembinaan dan edukasi dari pemerintah.

Jika berdasarkan teori tentang Kepemimpinan Transformasional oleh James MacGregor Burns & Bernard Bass dan Teori Kecerdasan Emosional oleh Daniel Goleman, bahwa tegas itu perlu, tapi marah bukan solusi. Seorang pemimpin diuji bukan ketika segala sesuatu berjalan lancar, tetapi saat menghadapi pelanggaran dan tekanan. Di situlah terlihat siapa yang mampu bertindak adil, dan siapa yang hanya melampiaskan ego.

Kalau pemerintah harus marah, marahnya ke mana?

Pada dasarnya, pemimpin pemerintahan tidak seharusnya meluapkan emosi kepada rakyatnya. Namun, ada situasi di mana kemarahan sebagai bentuk ketegasan terhadap pelanggaran atau kelalaian dalam menjalankan tugas memang diperlukan. Jika harus marah, kemarahan pemerintah harus diarahkan kepada pihak-pihak yang tidak menjalankan tugas mereka dengan baik atau mereka yang secara langsung merugikan rakyat.

  1. Marah kepada Aparat Pemerintah yang Tidak Profesional

Pemerintah harus marah kepada aparat yang menyalahgunakan wewenang atau tidak menjalankan tugasnya secara profesional. Misalnya, korupsi atau penyalahgunaan jabatan yang menghambat kemajuan daerah dan menambah beban rakyat.

  1. Marah kepada Penyedia Layanan Publik yang Tidak Memenuhi Standar

Ketika ada layanan publik yang buruk—seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, atau infrastruktur yang tidak memadai—pemerintah harus marah kepada lembaga lembaga yang gagal memenuhi standar pelayanan tersebut. Bukan rakyat yang disalahkan jika mereka tidak mendapatkan layanan yang layak. Tanggung jawab ada pada pemerintah dan aparat yang bekerja untuk kepentingan rakyat.

  1. Marah kepada Pengusaha atau Korporasi yang Merugikan Publik

Marah juga seharusnya diarahkan kepada pengusaha atau korporasi yang mengambil keuntungan dari kesulitan rakyat, seperti penimbunan barang yang menyebabkan kelangkaan, peningkatan harga secara liar, atau kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat.

  1. Marah kepada Pihak yang Mengancam Kedaulatan Negara

Pemerintah juga harus marah kepada pihak-pihak yang mengancam keamanan dan kedaulatan negara—baik itu dalam bentuk terorisme, upaya separatisme, atau gangguan dari luar negeri. Disinilah pemerintah perlu menunjukkan kekuatan dan ketegasan, bukan terhadap rakyat, tetapi terhadap ancaman yang merusak perdamaian dan stabilitas nasional.

  1. Marah kepada Mereka yang Menghalangi Perbaikan dan Pembangunan

Jika ada pihak yang menghalangi upaya-upaya perbaikan dan pembangunan—baik itu di sektor ekonomi, sosial, atau budaya—pimpinan pemerintahan perlu bertindak tegas dan marah terhadap mereka. Ini tidak hanya mencerminkan kepedulian
terhadap rakyat, tetapi juga menciptakan ruang bagi kemajuan dan perubahan positif.

Pemerintah memiliki kewenangan untuk bersikap tegas, namun ekspresi kemarahan tidak seharusnya diarahkan kepada rakyat secara umum apa lagi person to person. Ketegasan yang berlandaskan proporsionalitas dan pengendalian emosi, mencerminkan integritas dan kedewasaan dalam kepemimpinan. Marah pada rakyat justru bertentangan dengan prinsip pelayanan publik dan keadilan, serta berpotensi mengikis kepercayaan terhadap negara. Dalam konteks ini, seruan “Jangan Marah pada Rakyat” bukan sekadar nasihat moral, melainkan pijakan etis dalam praktik demokrasi yang sehat dan berkeadaban. (*)

News Feed