RAMLAH, seorang ibu dari Jeneponto, Sulawesi Selatan, terpaksa menjadi pekerja migran ilegal di Malaysia karena desakan ekonomi. Selama hampir 10 tahun, ia bekerja tanpa perlindungan hukum, mengalami eksploitasi, kehilangan momen bersama anak-anaknya, dan kembali ke tanah air dengan luka fisik dan batin.
DEWI SARTIKA MAHMUD
MakassarMentari baru saja menyentuh pucuk-pucuk pohon lontar di pelosok Desa Pabiringa, Jeneponto. Suara ayam bersahutan memecah kesunyian pagi. Di sebuah rumah panggung sederhana, Ramlah (46) duduk di teras dengan tatapan kosong ke arah ladang yang mulai menguning.
Ia baru saja kembali dari Malaysia setelah menjadi pekerja migran selama hampir 10 tahun.“Saya berangkat waktu anak saya masih bayi. Sekarang dia sudah masuk SMA,” ucapnya lirih, seolah masih sulit percaya waktu berlalu secepat itu.
Suaranya tenang, tapi matanya menyimpan kepedihan yang tidak bisa dibohongi.Ramlah adalah satu dari ribuan perempuan Sulawesi Selatan yang memilih mengadu nasib sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) ke negeri jiran. Ia meninggalkan kampung karena himpitan ekonomi.
Suaminya hanya seorang buruh tani yang penghasilannya tak menentu. Sementara, anak-anak butuh makan dan sekolah. “Awalnya saya takut. Tapi tetangga bilang di Malaysia bisa gaji besar, cepat kaya. Saya tergiur,” katanya.
Ia pun bertemu seorang calo yang menjanjikan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga. “Tanpa banyak pikir, saya ikut saja. Tak ada kontrak, tak tahu prosedur. Pokoknya mau kerja,” jelasnya.
Keberangkatan Ramlah berlangsung cepat. Hanya dalam dua minggu, ia sudah berada di Kuala Lumpur, bekerja di rumah keluarga Tionghoa. Hari-harinya diisi dengan pekerjaan tanpa henti: memasak, mencuci, menjaga anak, membersihkan rumah dari pagi hingga tengah malam.