Selama periode tersebut, RS Unhas dan Klinik Utama Mata JEC Orbita @ Makassar telah menjalankan tindakan operasi vitrektomi kepada 271 pasien RD – dengan 5,53 persen di antaranya berusia kurang dari 30 tahun. Ini memperlihatkan potensi nyata ancaman RD kepada kalangan usia produktif yang sangat berdampak signifikan pada kualitas hidup. Selain risiko kebutaan, RD juga sangat bisa berdampak pada aspek pendidikan hingga pilihan karier penderitanya.
Prof. DR. Dr. Habibah S. Muhiddin, SpM(K), menambahkan tanpa upaya pencegahan dan deteksi dini yang optimal, peningkatan jumlah penderita RD dapat mengurangi daya saing tenaga kerja dan membebani sistem kesehatan nasional.
“Karenanya, investasi dalam skrining, edukasi, dan pengobatan RD menjadi langkah krusial agar generasi usia kerja tetap sehat dan produktif. Dengan demikian, bonus demografi dapat dimanfaatkan secara maksimal.”
Berlandas analisis situasi dan berpijak pada tujuan agar bonus demografi tidak menjadi kesia-siaan, Prof. DR. Dr. Habibah S. Muhiddin, SpM(K) merumuskan tiga kebutuhan krusial untuk pencegahan kebutaan akibat RD di Indonesia.
Pertama, political will – dengan menempatkan RD sebagai prioritas indikator kesehatan, layaknya kesehatan ibu dan anak, stroke atau penyakit kardiovaskular lainnya. Kedua, sarana dan prasarana yang memadai – baik untuk skrining maupun terapi, termasuk laser fotokoagulasi seharusnya tersedia di seluruh kabupaten.
Ketiga, kolaborasi lintas profesi dan sektoral – dari tenaga kesehatan tingkat primer hingga tersier, antar dokter spesialis penyakit dalam endokrin metabolik dan spesialis mata, serta kerja sama dengan berbagai organisasi (baik pemerintah maupun non-pemerintah, dan nasional maupun internasional).