Ia melanjutkan, dalam Kepribadian Muhammadiyah sudah dijelaskan, “Kita boleh kritis, baik ke dalam maupun ke luar, tapi harus dengan bijaksana. Jangan sampai waktu kita terbuang hanya untuk perdebatan yang tidak perlu.” “Dalam komunikasi, kita harus punya adab. Misalnya, jika ada tiga pilihan kata—saya tidak suka, saya benci, saya muak—kita pilihlah yang paling santun: saya tidak suka. Penyampaian yang beradab tetap bisa tegas dan argumentatif,” kata Haedar.
Kedua, penguatan organisasi dan kepemimpinan. Baik di level persyarikatan maupun amal usaha, kata Haedar, organisasi harus terus diperbaiki agar lebih modern dan efisien. Ia merujuk pada kaidah “takdimul aham minal muhim” (mendahulukan yang terpenting dari yang penting).
“Kita juga harus bijak dalam pengelolaan keuangan. Jangan boros. Jangan sampai terlalu sering bepergian ke luar negeri hanya untuk studi banding yang tidak jelas hasilnya. Jika memang perlu, tidak masalah, tapi jangan hanya untuk rekreasi berbalut studi banding,” ujarnya.
Kepemimpinan di Muhammadiyah harus transformatif, baik di persyarikatan maupun amal usaha. Jangan sampai kepemimpinan justru menjadi rebutan. Seharusnya, kepemimpinan di Muhammadiyah dipahami sebagai tanggung jawab besar, bukan sekadar jabatan prestisius.
Ketiga, meningkatkan jaringan dan sinergi. Haedar mengatakan, “Saat ini kita hidup di era jaringan. Informasi adalah power. Jaringan yang luas membuat kita lebih kuat dalam banyak aspek.”
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya membangun jaringan yang kuat di berbagai sektor, baik nasional maupun internasional. Menurutnya, kekuatan Muhammadiyah tidak hanya terletak pada jumlah kader, tetapi juga pada kemampuan membangun sinergi dengan berbagai pihak.