Oleh: Abd Rahman Hamid
Dosen Sejarah Maritim UIN Lampung dan S2 Sejarah FIB Unhas
Akhir-akhir ini kita disuguhkan dengan suatu sajian informasi mengenai perilaku anomali di Negara Maritim, ketika terjadi pemagaran laut di Tangerang Banten yang membentang jauh sekitar 30 kilometer dengan ketinggian rata-rata 6 meter.
Mengapa ini terjadi? Apakah ini adalah bukti bahwa mereka terlalu cinta kepada laut sehingga harus dimiliki secara hukum dan juga dibatasi aksesnya dari para pelaut kita?
Sebetulnya, gerak cinta kita kepada laut menemukan momentum baik pada era pertama pemerintahan Joko Widodo (dan Muhammad Jusuf Kalla) pada tahun 2014-2019. Saat itu (22 Juli 2014), dalam pidato kemenangannya di atas Kapal Pinisi “Hati Buana Setia” di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta, Jokowi-JK menekankan pentingnya laut yang telah sekian lama dipunggungi atau dibelakangi.
Padahal, kebesaran bangsa Indonesia di masa lalu selama berabad-abad karena kemampuan memanfaatkan laut, sebut misalnya Kerajaan Maritim Sriwijaya, Majapahit, dan Makassar. Masa depan peradaban bangsa Indonesia tak lepas dari dunia laut, selat, teluk, dan samudera. Karena itulah, keduanya menetapkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
Ketika dibentuk kabinetnya, maka diadakan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves). Program Tol Laut pun dijalankan. Banyak daerah dan terutama pulau-pulau kecil dan terpencil dapat dijangkau oleh armada Tol Laut dengan biaya yang sangat murah. Berbagai agenda penelitian, misalnya, pada beberapa lembaga riset di Tanah Air secara terpola mengusung tema (poros) maritim.
Namun, pada periode kedua, Jokowi dan KH. Ma’ruf Amin (2019-2024), arus politik kemaritiman itu mulai surut. Mengapa? Bukankah kita masih dan selamanya adalah negara maritim (archipelagic state), sebagai konsekuensi dari fakta geografis Indonesia.
Apakah mungkin karena Jokowi sudah tidak lagi didampingi oleh seorang putra bahari (baca: orang Bugis). Kita dapat membaca kebaharian orang Bugis melalui karya antropolog Ohio University, Gene Ammarell, berjudul Navigasi Bugis, atau kitab Hukum Pelayaran dan Perniagaan Ammana Gappa yang dikodifikasi di Kota Pelabuhan Makassar pada paruh kedua abad ke-17.
Pada kabinet baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sudah tidak ada lagi Kemenko Marves. Namun, rasa cinta kita kepada laut masih tersisa, dengan tetap adanya Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dinakhodai oleh Sakti Wahyu Trenggono.
Tetapi, baru saja masuk empat purnama pemerintahan Prabowo-Gibran, masalah kelautan sudah mengemuka di ruang publik yang dipicu oleh tindakan pemagaran laut di pesisir Tangerang Banten oleh pihak tertentu.
Memang tidak dapat dipungkiri fakta bahwa arah pembangunan di negara kita, terutama daerah yang dibasahi oleh laut, cenderung ke laut. Ini dapat dilihat pada sejumlah proyek reklamasi pantai di Tanah Air kita yang kemudian diikuti oleh pembangunan perumahan elite.
Boleh jadi, pemagaran laut itu adalah awal dari rencana reklamasi pantai. Namun, sebelum rencana itu terlaksana, isunya sudah santer di media, sehingga kemudian menjadi masalah serius yang melibatkan banyak pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat umum.
Gelombang protes pun berdatangan dari berbagai pihak. Mereka tak ingin melihat laut kita dipagari, apalagi bila akan menjadi milik sebagian kalangan saja. Pasalnya, yang paling merasakan dampak dari pemagaran itu adalah nelayan yang mengais sumber kehidupan di laut setiap hari. Kurangnya hasil tangkapan ikan, tidak hanya berdampak bagi berkurangnya sumber pendapatan nelayan, tetapi juga konsumsi ikan bagi masyarakat.
Aksi pemagaran laut sesungguhnya merupakan pembatasan bagi pelaut untuk tidak melalui kawasan perairan tertentu. Apalagi bila tindakan itu dilakukan oleh bukan pemerintah.
Menurut UUD 1945 pasal 33 (ayat 3), bahwa Bumi dan Air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Bila pemagaran itu menjadi sebab pengurangan sumber kemakmuran ekonomi nelayan, maka hal itu jelas merupakan tindakan yang melanggar konstitusi. Maka, pemerintah harus melakukan tindakan tegas untuk menyelesaikan masalah ini sampai tuntas.
Belajarlah dari Sejarah
Negara maritim harus dikelola dengan pendekatan maritim. Karena itu, kita perlu belajar dari pengalaman kerajaan-kerajaan besar di masa silam. Ambil contoh, Kesultanan Gowa-Tallo (Makassar), di masa puncak kejayaannya.
Sultan Alauddin dan mangkubuminya, Sultan Abdullah Awwalul Islam (Karaeng Matowaya), sangat menjunjung tinggi kebebasan berlayar di laut atau mare liberum, serta tidak mentolerir segala tindakan dari orang-orang yang mencoba untuk melarang kebebasan tersebut.
Berikut adalah isi deklarasi laut bebas dari penguasa Makassar, bahwa “Allah telah menjadikan bumi dan laut; bumi dibagi di antara umat manusia dan laut diberikan secara umum. Tidak pernah terdengar seseorang dilarang berlayar di laut. Jika Anda melakukan itu berarti Anda merampas makanan dari mulut. Saya seorang raja miskin” (Poelinggomang, 2016).
Demi untuk menegakkan prinsip laut bebas itu, penguasa Makassar bersikap tegas terhadap bangsa-bangsa Eropa yang datang dengan prinsip laut tertutup (mare clausum). Pada mulanya oleh bangsa Portugis dan kemudian Belanda dan Inggris. Mereka berusaha menerobos kebijakan laut bebas, namun semuanya ditampik oleh penguasa Makassar demi kesejahteraan rakyatnya.
Sikap penguasa Makassar tersebut dilandasi oleh fakta bahwa laut merupakan tempat bagi rakyatnya untuk mencari nafkah, baik sebagai pedagang lintas laut maupun nelayan. Membatasi ruang gerak di laut sama halnya dengan “merampas makanan dari mulut”, kata penguasa Makassar.
Sikap tegas para penguasa Makassar untuk menjalankan politik laut bebas tidak diterima baik oleh VOC-Belanda sehingga menyulut api perang besar di perairan Buton dan Makassar pada 1666-1669, yang tak lain adalah jalur pelayaran utama menuju Kepulauan Rempah Maluku dan sebaliknya. Saat itu perdagangan rempah-rempah merupakan sumber utama kesejahteraan penduduk Makassar.
Kendati perang tersebut menyebabkan akhir kekuasaan Makassar, namun sikap yang diperlihatkan oleh sultan-sultan Makassar menunjukkan betapa kuatnya komitmen untuk menjaga laut sebagai sumber kesejahteraan rakyat. Pada akhirnya, kita perlu mengingat kembali pesan Bung Karno, bahwa “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” atau Jasmerah. (*/)