Ketua IKA Pascasarjana STIEM Bongaya ini menjelaskan bahwa tidak semua porang dapat langsung diekspor. Saat ini, negara tujuan seperti Cina membatasi impor porang hanya dalam bentuk olahan, seperti chip (irisan kering) atau tepung.
Dia mengatakan bahwa kebijakan ini diambil untuk mendorong perlunya hilirisasi porang agar memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.
“Misalnya, porang mentah dihargai sekitar Rp8.000 per kilogram, tetapi setelah diolah, nilainya bisa meningkat hingga tiga kali lipat,” ujarnya.
Arief mengatakan meskipun potensi porang sangat besar, beberapa tantangan muncul, termasuk fluktuasi harga akibat menurunnya permintaan di pasar internasional. Penurunan ini dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global serta kebijakan beberapa negara yang membatasi impor.
“Negara tujuan seperti Cina lebih memilih porang yang sudah diolah dibandingkan yang dikirim dalam bentuk gelondongan,” ungkap Arief.
Selain itu, musim panen yang terbatas, biasanya dari bulan Februari hingga Agustus, membuat pasokan porang tidak stabil sepanjang tahun.
“Hal ini menjadi tantangan bagi petani dan eksportir dalam menjaga volume ekspor yang konsisten,” ucapnya.
Arief menegaskan, porang masih memiliki masa depan cerah, terutama dengan tingginya permintaan di negara maju yang mulai mengurangi konsumsi karbohidrat tinggi. Ia juga menyoroti pentingnya hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah.
Dengan kandungan gula yang rendah dan manfaat kesehatan yang signifikan, Arief optimis porang berpotensi menjadi andalan baru ekspor Indonesia.