Persaingan dalam teknologi digital ini mencakup berbagai aspek, termasuk standar teknis, sistem pembayaran, hingga aplikasi berbasis AI. Saat ini, teknologi fintech di Indonesia banyak mengandalkan sistem pembayaran digital, analisis big data, dan algoritma AI yang diperoleh atau diadaptasi dari inovasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan teknologi asal AS maupun China. Karena itu, ketegangan geopolitik ini menjadi tantangan baru bagi Indonesia untuk menemukan keseimbangan dalam menggunakan teknologi dari kedua negara tersebut.
“Dengan adanya pertikaian di sektor geopolitik, kedua negara bisa dikatakan terbelah dalam hal penguasaan teknologi, dan nampaknya tidak akan membaik dalam beberapa tahun ke depan,” ujar Mahendra.
Ia menekankan bahwa kondisi ini memerlukan strategi yang tepat dari pemerintah Indonesia agar dapat tetap mengikuti perkembangan teknologi global tanpa terjebak dalam perseteruan antara AS dan China.
Mahendra juga mengungkapkan bahwa, meskipun tantangan ini dapat menghambat perkembangan teknologi di sektor fintech, namun di sisi lain hal ini juga membuka peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan kemandirian dalam inovasi teknologi. OJK mendorong para pelaku industri fintech nasional untuk berfokus pada pengembangan teknologi dalam negeri yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masyarakat Indonesia.
“Dalam menghadapi situasi ini, kami di OJK akan mendukung berbagai upaya yang dilakukan oleh startup dan perusahaan fintech lokal untuk menciptakan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, tanpa terlalu bergantung pada teknologi asing,” kata Mahendra.