Oleh: Jasnita
Mahasiswa Magang FAJAR dari Universitas Muhammadiyah Bone
Cemme Passili, tradisi sakral Desa Ulo, masih dipertahankan dalam kehidupan masyarakat. Ritual ini menjadi simbol pembersihan spiritual, kesuburan tanah, dan kesejahteraan bersama warga.
Di balik kesederhanaan Desa Ulo, Kecamatan Tellu Siattinge, Kabupaten Bone, tersimpan kekayaan budaya yang masih lestari hingga kini: tradisi Cemme Passili. Sebuah ritual sakral yang telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Ulo sejak zaman kerajaan, Cemme Passili bukan sekadar tradisi, tetapi juga lambang persatuan, ketahanan, dan identitas budaya yang kuat.
Cemme Passili berasal dari bahasa Bugis, yang secara harfiah berarti “mandi untuk membersihkan diri.” Tradisi ini berakar dari peristiwa sejarah ketika tiga kerajaan besar di Sulawesi Selatan, yaitu Bone, Wajo, dan Soppeng, mengalami masa-masa sulit. Di Desa Ulo, kekeringan panjang melanda wilayah tersebut, sehingga masyarakat mengalami kelaparan dan terserang berbagai penyakit.
Menurut legenda, seorang sesepuh adat bermimpi tentang sebuah mata air yang menjadi kunci penyelesaian masalah. Datu Salimang, pemimpin desa saat itu, mengumpulkan warga untuk melakukan ritual pembersihan diri di mata air tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Cemme Passili. Sejak saat itu, ritual ini diadakan setiap tahun sebagai simbol pembersihan spiritual dan harapan akan kesuburan dan kesejahteraan.
Setiap bulan November, Desa Ulo bersiap menyambut Cemme Passili dengan penuh antusiasme. Pada hari Senin yang telah ditentukan, seluruh masyarakat berkumpul di mata air yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual. Prosesi ini dimulai dengan upacara adat yang dipimpin oleh sesepuh desa dan diikuti oleh seluruh warga. Beppa Pitu’e, kue khas yang terbuat dari tepung ketan dan gula merah, serta ketupat segitiga kerucut menjadi bagian penting dalam ritual ini.
“Sebelum dimulai, kami selalu melakukan ritual di sungai. Pemimpin adat atau Sanro Wanua melakukan doa khusus, meminta keberkahan dan pembersihan diri,” jelas Gia Ardana, warga lokal yang memiliki pengetahuan tentang adat Cemme Passili. Setelah doa selesai, Datu Salimang (dalam tradisi masa lalu) atau Hj. Uleng yang menjadi pemimpin adat saat ini akan menjadi orang pertama yang mandi di mata air, diikuti oleh masyarakat lainnya.
Bagi masyarakat Ulo, Cemme Passili bukan sekadar acara tahunan. Ritual ini memiliki makna mendalam: pembersihan diri dari dosa dan kesalahan masa lalu, serta permohonan agar alam memberikan kesuburan bagi tanaman dan kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. “Kami percaya setelah mengikuti Cemme Passili, tanah kami akan subur, hujan akan turun, dan panen kami akan melimpah,” ungkap Hj. Rudding.
Perayaan Cemme Passili kini menjadi daya tarik bagi pengunjung dari luar daerah. Masyarakat desa juga ikut berpartisipasi dalam lomba, menjadikannya sebagai ajang sosialisasi dan promosi budaya. Namun, untuk menjaga kelestarian tradisi, tokoh masyarakat terus berupaya mengenalkan nilai-nilai asli Cemme Passili kepada generasi muda. “Kami harus menjaga agar generasi muda tahu makna di balik tradisi ini. Bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai warisan leluhur yang harus mereka jaga,” tambah Gia Ardana.
Meskipun terdapat perubahan seiring modernisasi, esensi Cemme Passili tetap terjaga. Ritual ini masih dianggap penting untuk membersihkan diri dari dosa dan berharap hujan yang membawa keberkahan panen. Melalui tradisi ini, masyarakat Desa Ulo tidak hanya merayakan, tetapi juga menjaga ikatan sosial dan budaya yang kuat.
Cemme Passili adalah contoh nyata bagaimana kearifan lokal tetap hidup dan relevan dalam kehidupan masyarakat. Dengan semangat kebersamaan, Desa Ulo menegaskan pentingnya menjaga tradisi sebagai warisan budaya yang tak ternilai. (*)