Ekosistem Lingkungan di Geopark Maros-Pangkep Harus Berkelanjutan
Oleh: Widyawan Setiady
Sengatan matahari pagi mengiringi perjalanan saya ke Dusun Rammang-Rammang, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, akhir September lalu.
Di sana, saya menemui Iwan Dento. Tepatnya di kedai kopi yang diberi nama Rumah Kedua. Tidak terlalu luas, sekitar 4 meter saja. Tempat itu sebenarnya teras rumahnya, yang didesain sebagai tempat persinggahan dan menyeruput kopi.
Tidak ada kopi susu atau teh susu yang tersedia. Hanya kopi hitam yang disediakan. Penyajiannya juga diseduh tradisional, biji kopinya juga dari pedagang, bukan kopi sachet. Ini seolah menegaskan, Iwan ingin menjaga kealamian dan warisan orang tua terdahulu.
Saya duduk di ujung meja kayu, di samping pot yang terbuat dari panci bekaas. Kursinya juga daur ulang ban bekas, dengan beberapa lainnya terbuat dari kayu, yang memperkuat khas kecintannya terhadap lingkungan.
Iwan adalah aktivis lingkungan. Nama lengkapnya Muhammad Ikhwan, pria peraih penghargaan Kalpataru tahun 2023 lalu. Bagi saya, itu hanya penghargaan kecil atas jasa besarnya menjaga kelestarian alam dan ekosistem yang ada di kawasan Karst Geopark Maros-Pangkep.
Pria kelahiran Maros, 10 Oktober 1980 itu sudah menggeluti konservasi lingkungan sejak muda. Pada awalnya, dia hanya pendaki gunung yang sudah menjelajah ke berbagai daerah. Namun belakangan, dia menjadi orang terdepan yang menjaga dan melindungi ekosistem lingkungan yang ada di wilayahnya.
Semua itu bermula pada tahun 2007. Dia mulai menyadari kondisi lingkungannya, khususnya ancaman krisis air. Saat itu, ada perusahaan marmeryang ingin masuk ke sana. namun Iwan bersama warga melakukan penolakan karena dianggap akan menghancurkan ekosistem dan biota yang ada di sana.
Kemudian, pada 2009 Iwan mulai intens melestarikan lingkungan. Itu terus berlanjut hingga hari ini. Dia mengaku, semua tidak dilalui dengan mudah. Sebab, selain meyakinkan masyarakat, dia juga kerap berhadapan dengan regulasi yang sifatnya tidak memihak.
Iwan mengaku, ada banyak tantangan yang bakal dihadapi dalam upaya konservasi kawasan pegunungan karst Geopark Maros-Pagkep. Utamanya, jika tingkat kesadaran lingkungan belum terbangun dengan baik bagi semua kalangan.
Kata Iwan, persentase orang yang sadar lingkugan dan yang tidak, masih sangat jauh. Itulah masalah paling pertama harus dihadapi. Memang tidak mudah, tetapi ada harapan besa di masa mendatang.
”Peduli dan perhatian itu berbeda. Peduli itu keinginan untuk bertindak. Kalau perhatian, belum tentu ada tindakannya. Ini yang masik cukup jauh persentasenya,” kata dia.
Iwan mulai berkisah mengenai upayanya menjaga kelestarian lingkungan di kawasan Rammang-Rammang. Dia mengaku, hal paling pertama yang dia bangun adalah kesadaran masyarakat. Dari sana juga dia faham betul, budaya belajar masyarakat adalah melihat, bukan mendengar.
”Pola belajar paling pertama dari masyarakat itu ternyata melihat. Jadi kalau pemerintah bicara bagaimana membangun kesdaran lingkungan, maka masyarakat juga akan melihat seperti apa perilaku pemerintah itu sendiri di kantor atau di rumahnya, jangan sampai lip service saja,” tuturnya.
Ada satu hal yang dia yakini sekaitan dengan eksplorasi, khususnya menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Menurutnya, dari sudut pandang apapun sifatnya wajib, tidak ada tawar menawar lagi mengenai konservasi.
Kata dia, dari perspektif agama sudah jelas wajib hukumnya. Dari segi budaya, kebersihan merupakan identitas, dan jika melihat aturan pemerintah, justru lebih banyak yang membahas soal itu.
“Ke depan, ini akan menjadi tantangan sendiri dalam pengelolaan lingkungan. Ada ketimpangan antara upaya pemerintah mengejar income dan kelestarian yang harus dijaga,” kata dia.
Bapak lima anak itu mengaku, di kawasan Geopark Maros-Pangkep ada 31 geosite. Namun tidak semua terekplorasi dan tidak semua geosite itu difahami secara tuntas, baik oleh masyarakat maupun pemerintah.
Padahal, kata dia, Geopark selalu berbicara mengenai konservasi, soal perlindungan geologi, diversity, dan kultur. Sedangkan pemerintah sejauh ini justru menggaungkan pariwisata. Hal ini dianggap cenderung timpang dan bisa menjadi bagian dari pemicu kegagalan konservasi.
Menurutnya, pariwisata hanya salah salah satu bagian dari dampak konservasi. Sebab, pariwisata selalu berbicara seputar jasa lingkungan. Maka seharusnya, itu hanya menjadi bonus saja dari konservasi, bukan prioritas
“Kalau tiga ini terlindungi, maka ada jasa yang bisa dimanfaatkan sebagai dampaknya. Cuma pada realitanya, orang berfikir Geopark itu ya pariwisata. Padahal kan perlindungan, bisa saja lewat pertanian, peternakan, atau apapun yang berhubungan dengan konservasi,” ungkapnya.
Itu sebabnya, pemerintah dianggap terlalu monoton jika memaknai Geopark hanya soal pariwisata. Meski dijuga menyadari, Geopark tidak lepas dari pariwisata, namun pariwisata bukan hal utama dari geopark, hanya salah satu dampaknya saja.
“Kalau pariwisata mau didorong dalam konteks industri, kawasan karst dibor, dipadatkan, dikasih bangunan di atasnya, jalur air ditutup, hulunya tidak dirawat, ya sama, akan dapat efek buruk juga,” ungkapnya.
Dia menegaskan, poin ketiga dari geopark adalah kultur. Ini berbicara mengenai kehadiran masyarakat di dalam kawasan. Sehingga, hal yang harus digali adalah hubungan antara konservasi dan masyarakat.
Itu juga alasannya mengapa ada pihak yang mensakralkan kawasan tertentu. Beberapa lainnya juga memberi syarat sakral terhadap area. Kata dia, ini merupakan traditional konservation yang harus digali lebih jauh.
Karena, terkadang apa yang menjadi kebutuhan masyarakat namun pemerintah justru memberikan hal yang berbeda. Ada ketimpangan yang menjadi miss, sehingga tidak terjalin koneksi dengan baik antara masyarakat dan pemerintah.
“Makanya saya tidak sepakat dengan istilah pemberdayaan masyarakat. Karena itu mempengaruhi persepsi. Yang tepat itu pelibatan masyarakat. Kalau pemberdayan, masyarakat ini seolah-olah tidak punya apa-apa, kalau pelibatan kan lebih pada kolaboratif,” ucapnya.
Iwan juga memprediksi, untuk dampak jangka panjang memang ada potensi pariwisata yang cukup menjanjikan. Hanya saja tidak bisa dipaksakan melejit dalam waktu singkat. Sehingga, semuanya harus mengalir secara alami tanpa harus ada rekayasa berlebihan.
“Jangan paksakan burung terbang sebelum waktunya. Maksud saya, biarkan geopark ini berjalan alamiah. Bali itu sejak tahun 1960-an mulai berjalan hingga akhirnya dikenal dunia. Geopark ini baru lahir tahun 2000-an dan dipaksa berkiblat ke Bali. Ini susah, karena tahapannya tidak sama,” tuturnya.
Bahkan dia menilai, jika melihat pola yang dilakukan pemerintah saat ini, cenderung lebih mengutamakan tujuan, bukan proses. Sementara kualitas tujuan yang bagus, kata dia, jika dilalui dengan proses yang baik.
“Sekarang pemerintah sepertinya hanya mengejar target saja. Akhir-akhir ini mereka banyak memberi program pelatihan, seolah-olah problemnya ada di pengetahuan masyarakat. Ini ibarat orang asing mengajari kita membuat kue tradisional kita sendiri, kan lucu,” ungkapnya.
Padahal, dia menganggap tidak semua masalah berkaitan dengan pengetahuan masyarakat. Menurutnya, masyarakat hanya butuh alat produksi yang mumpuni, sehingga proses belajar mereka bisa lebih maksimal dan tuntas.
Sebab masyarakat tidak perlu lagi tata cara untuk peduli kepada lingkungan. Mereka sejak dahulu sudah ada di sana dan mereka tahu persis apa yang harus mereka lakukan untuk menjaga kelestarian lingkungannya sendiri.
“Pola pemerintah sekarang masih banyak pelibatan ke atas. Idealnya pengelola geopark itu kan bisa menjadi representase dan mendistribuikan kepada masyarakat kita sendiri,” tuturnya.
Begitu juga sekaitan dengan dampak perubahan iklim. Kemarau, banjir, angin, dan lainnya, hanya masalah adaptasi lingkungan dari perbuatan manusia itu sendiri. Menurutnya, siklus ini akan terus terjadi, hanya skalanya saja yang akan naik jika perilaku manusianya tidak tepat.
“Ini akan jadi masalah kalau masyarakat tidak bisa beradaptasi dengan baik. Dampak jelas ada, tetapi kalau adaptasinya bisa dibangun, maka bisa diminimalisir. Sekarang di Rammang-Rammang itu ada waktu air surut, adaptasi pertama adalah menyampaikan ke orang, kalau mau datang sebaiknya pada jam tertentu saja,” jelasnya.
Kondisi ini memang butuh hal yang lebih sepadan dan normal saja. Perilaku sederhana namun memberi dampak signifikan patut dilakukan. Misalnya saja, dia mengambil contoh, kapsitas perahu untuk para wisatawan.
Jika di waktu normal para wisatawan bisa menyewa satu perahu untuk delapan orang, maka di waktu surut harus menggunakan dua kapal. Itu dimaksudkan, agar perahu dan jalur yang dilintasi tidak terganggu oleh beban penumpang. Sehingga, biota yang ada di dasar sungai tetap terjaga dengan baik.
“Apalagi banyak yang berfikir kalau dangkal ya digali sungainya, kalau sempit dilebarkan. Ini kan tidak serta-merta bisa dilakukan, perlu kajian yang dalam juga. Jangan sampai nanti dampaknya tidak bagus, apalagi dampak terhadap masyarakat sekitar terkait dengan penggusuran dan sebagainya,” imbuhnya.
Dengan begitu, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan dan penataan kawasan di sana memang perlu dilakukan. Termasuk dalam hal penanganan sampah. Tidak boleh hanya berkaitan dengan perintah dan aturan, tetapi harus dibarengi dengan penguatan program yang jelas.
Misalnya saja, limbah sampah yang ada harus diapakan sehingga tidak hanya berpindah tempat dari lokasi geopark ke penampungan. Harus ada arah yang jelas mengenai daur ulang ataupun pemanfaatannya.
“Kalau tidak ada program tertentu yang mengatasi itu maka akan menjadi petaka. Masyakat kita ini paling jago memprediksi alam. Dulu kita selalu lihat masyarakat menyimpan padi di lumbung sebagai antisipasi krisis. Artinya mereka juga tahu seperti apa lingkungan tanpa pengelolaan yang tepat,” kata dia.
Dengan begitu, dia tidak memungkiri adanya pengetahuan modern, tetapi ada juga pengetahuan tradisional yang tidak bisa diabaikan. Sehingga perlu dikolaborasikan, jangan hanya datang membawa teori namun tidak ngonteks dengan realitanya
“Intinya, saya sangat menghargai pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat, meski mungkin tidak seilmiah pengetahuan modern. Namun mereka layak mendapat tempat juga,” tegasnya.
Pentingnya Menjaga Kelestarian Flora dan Fauna
Di kawasan Geopark Maros-Pangkep, ada banyak flora dan fauna endemik. Meski beberapa tumbuhan di sana bisa saja ada di tempat lain, tetapi adaptasinya sudah pasti berbeda.
Sebab, pegunungan karst murni terbentuk dari batu. Namun di atas batuan tersebut ada banyak pepohonan yang tumbuh. Pepohonan itu kemudian menjadi tempat tinggal berbagai fauna endemik yang di beberapa tempat sudah tidak ditemui.
Di sana ada banyak jenis burung. Seperti Sriti, Elang Laut, Elang Sulawesi, Ranggong, sampai dengan kelelawar. Ikan juga sama, cenderung pada jenis yang mampu bertahan dalam banyak kondisi. Sebut saja Baramundi, Kakap Mata Kucing, Balana, Gabus, dan berbagai lainnya.
“Menurut saya ini memang unik. Bisa saja pohon di atas itu ada di tempat lain, tetapi kan adaptasinya jelas beda. Kemudian ikannya juga begitu, cenderung lebih kuat bertahan hidup. Karena air di sini itu kalau musim hujan payau, tetapi kalau kemarau pasti asin,” tutur Iwan.
Itu sebabnya, Iwan mengajak seluruh warga untuk tetap bertahan dengan nilai perilaku terhadap lingkungan yang mengarah pada konservasi. Sampai hari ini, Iwan dan warga di sana telah bergerak melakukan konservasi di sekitar 400 hektare kawasan karst Rammang-Rammang. Wilayah administrasnya ada di Dusun Rammang-Rammang dan Dusun Salenra.
“Makanya masyarakat di sini menolak tiga perusahaan yang pernah terlibat di sana. Mereka hampir menguasai sekitar 100 hektare lahan, termasuk tambang rakyat. Itu rencana kegiatan ekstraktif di sana, tambang marmer dan batu gamping,” kata dia.
Bahkan pada awalnya sudah ada satu perusahaan yang beroperasi. Beberapa tambang rakyat juga sempat jalan. Namun karena gerakan masyarakat di sana terbangun, maka dua diantaranya gagal masuk dan yang sudah beroperasi berhenti.
“Akhirnya biodiversity kita secara otomatis pulih, flora dan fauna. Sumber airnya juga sudah bisa dimanfaatkan oleh masyarakat hampir satu desa. Paling tidak, ini sudah terselamatkan karena tidak ada lagi aktivitas tambang di sana,” kata dia.
Pria yang mulai menginjak usia 45 tahun itu menegaskan, saat ini hutan yang ada di kawasan Karst geopark Maros-Pangkep itu justru menjadi tempat pelimpahan fauna, khususnya burung. Dia menduga, berbagai jenis burung yang terlihat di sana sebagian dari kawasan pegunungan Kaerst Bosowa.
“Karena berdasarkan catatn kami, ada burung yang dulu cuma dua sekarang sudah 40-an. Dulu tidak ada, sekarang ada. jadi memang seperti menjadi tempat pelimpahan. Mungkin karena pegunungan di kawasan Bosowa sudah rusak, makanya ke sini,” terangnya.
Untuk mempertahankan itu, kata Iwan, tidak sulit. Pemerintah hanya perlu memberikan dukungan regulasi yang sifatnya bisa menjaga dan melindungi kawasan di sana. termasuk flora dan faunanya.
“Sederhana saja. Kita butuh pelibatan masyarakat dalam perencanaan, eksekusi, dan evaluasi, jangan cuma eksekusinya saja. Masyarakat juga sebaiknya mengurangi ketergantungan terhadap bantuan pemerintah. Karena itu memperlambat perubahan mereka,” jelasnya.
Dia juga menilai, pengelolaan sampah punya kaitan erat dengan kelangsungan hidup ragam hayati yang ada di sana. Sebab, samph bisa menjadi salah satu faktor yang menunjang, sekaligus bisa menjadi petaka jika tidak ditangani dengan baik,
Berangkat dari hal itu, Iwan mendirikan rumah sampah dan rumah kompos. Semua sampah dipilhah, yang organik diolah menjadi pupuk kompos dan yang non organik didaur ulang menjadi barang bernilai guna.
Untuk pupuk, selain sampah organik juga ada pupuk dari kotoran kelelawar. Itu digunakan untuk menggemburkan tanah dan menyuburkan tanaman. baik itu tanaman di sawah maupun taman yang sifatnya jangka pendek.
“Kalau sampah dibiarkan, sungai pasti dangkal dan tercemar. Pohon juga bisa terganggu tumbuhnya. Secara tidak langsung ini sudah membasmi fauna yang tinggal di sana,” terangnya.
Pemerintah Gaungkan Investasi dan Industri Wisata
Secara geografis, Geopark Maros-Pangkep memiliki luas wilayah sekitar ±75.931 hektare. Kawasan ini terdiri atas keanekaragaman bumi (geodiversity), keanekaragaman hayati (biodiversity), maupun keanekaragaman budaya (cultural diversity).
Banyak potensi yang bisa dikembangkan di wilayah ini, baik untuk wisata maupun edukasi. Sebab selain panorama alamnya yang memukau, kawasan ini juga merupakan habitat alami berbagai hewan endemik khas Sulsel.
Bahkan, pegunungan karst yang ada di Leang-Leang dan Rammang-rammang menjadi yang terbesar dan terindah kedua di dunia setelah Cina Selatan. Namun sayangnya, pengelolaan di sana belum maksimal.
Kepala Dinas Pariwisata Sulsel, Muhammad Arafah mengatakan, kawasan yang ada di sana merupakan bagian dari hutan lindung. Sehingga, kewenangan pengelolaannya ada di tingkat pusat.
“Kabupaten Maros dan Pangkep, dari segi retribusi dan lainnya dari wilayah destinasi itu, mereka berbagi dengan pusat. Kalau Pemprov Sulsel itu cuma fungsi koordinasi saja,” ujarnya kepada FAJAR, Selasa, 24 September.
Dia mengaku, kewenangan Pemprov Sulsel hanya sebatas koordinasi. Termasuk upaya memberi support terhadap gairah pariwisata yang ada di sana. Dia mengaku, peran pempprov juga cukup bagus dalam mendorong peningkatan minat wisata di kawasan karst Geopark Maros-Pangkep.
“Kami itu hanya berwenang dalam ranah pembinan dan kemudian supporting agar pariwisata itu bisa meningkat dan semakin bergairah. Kalau pengelolaan secara langsung sih tidak, tetapi dampak lainnya pasti kita rasakan,” tuturnya.
Arafah juga mengatakan, dari sisi ekonomi di sepanjang wilayah itu mendapat dampak yang bagus. Termasuk kedatangan para wisatawan melalui bandara, kemudian melintas, dan sebagainya, turut menumbuhkan ekonomi di sana dan masyarakat menikmati hasilnya.
“Jadi secara tidak langsng hal itu akan mengangkat perekonomian secara regional dan daerah. Karena multiplier effectnya dapat lah, masyarakat di sana bisa menikmati hasilnya,” kata dia.
Arafah membeberkan, di sepanjang geo park tersebut semuanya merupakan aset destinasi. Sebab, batu kaarstnya sendiri menyebar dari Maros hingga Pangkep. Kemudian di Pangkep juga ada goa tertua di dunia yang usianya 500 tahun lebih.
Di Maros, mulai Leang-Leang, Rammang-Rammang, Bantimurung, Penangkaran Kupu-Kupu, juga menjadi kawasan wisata yang masuk geopark. Sehingga, tantangan yang paling mendasar adalah perawatannya.
“Sepanjang wilayah itu memang potensi wisata semua. Tinggal nanti kami coba buat peta jalan terkait dengan potensi mana saja yang paling memungkinkan untuk kita jual,” tuturnya.
Melalui berbagai upaya pengembangan ini, Arafah berharap ada investasi yang masuk di sana. Sebab sejauh ini, belum ada investor yang ingin berinvestasi di san. Sebab selain pengelolaan yang perlu dimaksimalkan, juga perizinannya masih harus terpusat.
“Kalau bicara investasi, kita harapkan itu bisa ada di sana. Tetapi kan koordinasinya harus lewat teman-teman lingkungan hidup dan kehutanan, itu wilayah konservasi. Kecuali yang sisi pantai, bisa kita buka sepanjang jalur pantai dan pulau yang ada di sana, di wilayah spermonde itu. Karena itu kan dipublish untuk wisata,” tuturnya.
Kadis Pariwisata, Pemuda dan Olaharaga Kabupaten Maros, Muhammad Ferdy juga melontarkan hal sama. Namun dalam hal pengelolaanya, semua diserahkan kepada masyarakat desa, sebab di sana masuk dalam kawasan desa wisata.
“Di sana itu dikelola oleh masyarakat, Bumdes yang kelola. Karena itu masuk desa wisata, makanya tidak dikelola sama Pemda, kami cuma support. PAD-nya masuk ke desa semua. Perawatannya juga desa yang tangani, karena kami sudah serahkan ke Pemdes,” kata dia.
Ferdy juga mengaku, sekaitan dengan investasi juga langsung ke pemerintah desa. Sebab, tanah di sana milik masyarakat semua, asetnya pun milik masyarakat.
“Pemda cuma masuk ke bagian peningkatan SDM seperti pelatihan-pelatihan, supportnya lewat situ. Nanti mereka yang mengeksekusi secara langsung
Butuh Perawatan Intens
Pakar geologi Universitas Hasanuddin, Prof Adi Maulana mengatakan, pada dasarnya batuan karst memang banyak celah. Sebab, karst sendiri terbentuk dari banyak rekahan.
Namun pada dasarnya, batuan karst yang ada di Maros, termasuk Camba dan lainnya, kondisinya masih sangat kuat. Tetapi bisa saja lebih cepat rapuh jika banyak getaran yang terus menerus menerpa.
”Sebenarnya masih sangat kuat. Tetapi mungkin karena ada getaran, makanya terbongkar. Karena karst kan terbentuk dari rekahan. Jadi semakin sering kena getaran, semakin rentan juga terpisah rekahannya,” bebernya.
Lebih lanjut dia mengatakan, jika investasi dan industri masuk ke sana, kemudin ada pelaksanaan pekerjaan fisik, maka sebaiknya dilakukan berbagai upaya antisipasi. Termasuk penelitian untuk melihat ke mana kecondongan batu dan ke mana arah rekahannya.
”Bisa dilihat arah rekahannya condong ke mana. Jadi antisipasi bisa dilakukan dengan banyak cara, tentu melalui kajiannya juga,” lanjutnya.
Selain dari antisipasi sebelum pengerjaan, upaya-upaya penguatan juga bisa dilakukan dengan banyak cara. Tujuannya, agar tidak terjadi lagi runtuhan ke arah yang membahayakan banyak orang.
”Bisa dilakukan penguatan juga. Caranya bisa pakai growing (pengisian rekahan menggunakan semen), bisa pakai pasok, bisa pakai pondasi dan berbagai teknologi lain,” jelasnya.
Namun sebelum itu, perlu dilakukan pemetaan geologi detail, agar jelas seperti apa penanganan dan antisipasi yang harua dilakukan.
”Memang perlu ada kajian lingkungan, itu penting. Tetapi tidak kalah pentingnya juga pemetaan geologi detail. Supaya bisa dibuat mapping lokasinya, ada antisipasi dan penanganan titik yang rawan di mana dan yang masih kokoh di mana,” terangnya.
Daftar Geosite di Kawasan Geopark Maros-Pangkep yang Tersebar di 7 Jalur Geowisata (Geotrail):
Wallacea
- Air Terjun Bantimurung
- Danau Kassi Kebo
- Gua Batu
- Gua Mimpi
- Sanctuari Kupu2
- Gua Saripa
- Taman Purbakala Leang-leang
- Leang Bettue
- Leang Timpuseng
Karaengta-Pattunuang
- Gua Salukang Kallang
- Hutan Pengamatan Flora Fauna Karaenta
- Gua Leang Pute
- Kontak Intrusi Basalt-Batugamping
- Sungai Pattunuang
- Biseang Labboro
jiMallawa-Camba
- Padang loang
- Pemandian Air Panas Mallawa
- Hutan Pendidikan Bengo
- Air Terjun Lacolla
- Puncak Makkaroewa
Rammang-Rammang
- Sungai Pute
- Hutan Batu Salenrang
- Kompleks Gua Bersejarah (Gua Karama,batu tianang,Pasaung)
- Telaga Bidadari
- Dusun Rammang-rammang
- Gua Kingkong
Bungoro-Bantimala
- Basement Complex Bantimala
- Desa Malaka
- Sungai Pateteyang
- Situs Arkeologi Siloro
- Tambang Marmer
- Mata Air Mattampa
- Desa Wisata Pattallassang
- Leang Kassi
- Leang Kalibbong Alloa
Geosite Balocci-Bulusaraung
- Puncak Bulusaraung
- Desa Wisata Tompobulu
- Taman Prasejarah Sumpangbita
- Hutan Batu Balocci Baru
- Hutan Amarai
- Kontak Intrusi Basalt-Batugamping
- X-Pabrik Semen Tonasa 1
- Gua Londrong
Pulau Cambang-Cambang dan Kepulauan Spermonde
- Pulau Cambang-Cambang