Pada petikan kalimat pertama tampaknya Arung Palakka memiliki mimpi Sulawesi Selatan bersatu. Betapa hebatnya tokoh ini, terutama pasca perang Makassar, kalau dapat mengendalikan seluruh dinamika politik lokal. Bagaimana dengan Belanda sebagai pemenang utama perang? Yang menandatangani perjanjian Bungaya (18 November 1667) adalah pihak Belanda dan Kerajaan Gowa. Nama Arung Palakka tidak tercatat di sana. Dalam syair Perang Mengkasar karya Encik Amin (Amin & Skinner, 2008), ia (Raja Palakka) hanya dua kali disebut sebagai panglima pasukan Bugis.
Lalu, merujuk petikan kalimat kedua, banyak pangeran Sulawesi Selatan pergi mencari rumah di seberang hingga kemudian mewarnai sejarah di daerah tujuan, tampaknya terlalu membesarkan peran Arung Palakka. Kepergian tokoh-tokoh Sulawesi Selatan, seperti Karaeng Bontomarannu (panglima perang Kerajaan Gowa) dan Karaeng Galesong ke Jawa merupakan akibat perang Makassar.
Bila ditelisik lagi, jauh sebelum Arung Palakka bersekutu dengan Belanda, telah terjadi konflik antara Makassar dengan Belanda dalam perebutan (jalur) rempah-rempah Maluku paruh pertama abad ke-17. Pada Juni 1660, armada Belanda bertolak dari Ambon menuju Makassar dengan 22 kapal dengan 1.064 serdadu Belanda dan 1.700 serdadu pribumi Jawa, Madura, Ambon, dan lainnya di bawah pimpinan Johan van Daam. Mereka membombardir pertahanan Makassar dari laut hingga berhasil menguasai benteng Panakkukang pada 12 Juni 1660 (Patunru, 1983). Baru pada akhir tahun 1660 Arung Palakka dan pengikutnya mengungsi ke Buton dari Teluk Bone selama tiga tahun (1660-1663), dan kemudian berpetualang di Tanah Jawa membantu Belanda dalam berbagai ekspedisi hingga sebelum akhir tahun 1666.