Oleh: Marsuki
(Guru Besar FEB Unhas dan Komisaris Independen BSSB)
FAJAR, MAKASSAR — Pro-kon terkait Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang meningkat tajam di kebanyakan Perguruan Tinggi Negeri (PTN), khususnya yang sudah berstatus PTN-BH, telah menyebabkan keriuhan di banyak lingkungan kampus, di DPR, dan kelompok Masyarakat pemerhati pendidikan di Indonesia.
Kenaikan beban biaya kuliah tahun ini terlegitimasi dengan terbitnya Keputusan Kemendikbudristek Nomor 54/P/2024 tentang Besaran Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi serta Permendikbudristek No 2 Tahun 2024 yang mengatur pemetaan tarif UKT menjadi lebih spesifik di tiap program studi. Kedua aturan tersebut rupanya bukan hanya UKT yang bisa dinaikkan.
Pimpinan perguruan tinggi dapat pula menaikkan tarif IPI yang besarannya maksimal empat kali besaran UKT per tahun tiap prodi. Walau penerapannya mengharuskan sesuai prinsip kewajaran, proporsional, dan berkeadilan dengan memperhatikan kemampuan ekonomi mahasiswa dan orang tua atau penanggung biaya pendidikan mahasiswa, tapi tetap saja aturan tersebut memberatkan.
Gerakan penolakan aturan diinisiasi oleh mahasiswa yang merasa kebijakan tersebut tidak tepat apalagi adil dan merata. Syukur pemerintah mengambil keputusan bijak untuk membatalkan peraturan yang menjadi landasan aturan kebijakan UKT tersebut. Walaupun kemudian ternyata bahwa keputusan tersebut diindikasikan masih bersifat sementara, jadi sepertinya akan tetap dilaksanakan kemudian jika sudah tepat waktunya.
Dari perspektif kebijakan publik terkait UKT sebagai bagian bidang ekonomi pendidikan, oleh pihak kritis menganggap bahwa masalah UKT tersebut hanya salah satu imbas dari beberapa persoalan pendidikan yang belum terselesaikan hingga kini.