Agama dan Tuhan seakan-akan diabaikan, iman menguap bahkan ada kecenderungan manusia modern membuang dimensi transendental dari kehidupannya. Padahal, peradaban yang menegasikan dimensi spiritual hanya akan menghasilkan surga paradoksal; surga yang hanya mampu memberikan berbagai kesenangan, tetapi gagal dalam memberikan ketenangan.
Peradaban membaca yang dibangun Barat memang berbeda dengan falsafah iqra (membaca) yang diajarkan oleh Islam. Jika Barat membuang dimensi keilahian yang berakibat lahirnya peradaban sekuler, maka di dalam Islam falsafah membaca harus selalu dikaitkan dengan dimensi spiritualitas agar peradaban yang dihasilkan senantiasa berbasis peradaban irfani.
Irfani adalah sebuah peradaban yang tidak saja bertumpu pada kekuatan akal pikiran, tetapi juga berbasis pada keutuhan zikr, peradaban yang saling “menyapa” dalam relasi humanis; menyapa sesama manusia, menyapa lingkungan, dan juga menyapa Tuhan. Umat Islam pada abad klasik dan pertengahan mencapai puncak kejayaannya (the golden age) disebabkan mereka mampu mengamalkan falsafah iqra dilanjutkan tradisi menulis.
Kebangkitan Islam
Hari ini umat Islam mengalami kemunduran karena budaya literasi tidak lagi terpelihara. Dari survei literasi yang dilakukan oleh UNESCO, tidak ada satupun negara yang mayoritas berpenduduk muslim menempati 10 besar. Indonesia pun hanya menempati urutan ke 70 dari 81 negara yang disurvei dengan persentasi 0.001 persen. Itu artinya, di antara seribu penduduk Indonesia, hanya satu orang yang gemar membaca.