English English Indonesian Indonesian
oleh

Ulama di Medan Jihad Baru

“Mari bersabar menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Karena kalau setiap orang bicara, semuanya pasti menyatakan diri sebagai yang benar dan wakil dari keadilan. Lalu, keputusan MK disambut dengan sikap menolaknya kalau tidak sesuai dengan kebenaran dan keadilan yang diklaim”. Begitu himbauan yang disampaikan ketika sengketa hasil pilpres 2024 dibawa ke MK.

Jadi, sabar menunggu. Dan, juga harus siap untuk menerima, manis atau pahit, keputusan MK yang sifatnya final dan mengikat semua warga negara. Dalam hal bernegara-bangsa, ulama pun wajib membimbing ummat menghormati lembaga peradilan dan putusannya, agar menjadi warga negara yang mematuhi hukum yang sah di negara hukum ini. Jangan seperti sebagian tokoh/elit/akademisi, yang bersikap tidak hormat, patuh, bahkan condong membangkang, terhadap apa yang telah diputuskan oleh lembaga peradilan.

Jangan menjadi umat yang hanya hormat dan patuh kepada negara jika negara memutuskan kebenaran dan keadilan persis dengan kebenaran dan keadilan yang ia klaim.

Ummat terus dibimbing, bahwa dalam bernegara, ada banyak kebenaran dan keadilan, bahkan yang saling berbeda, yang diklaim oleh masing-masing tokoh/warga yang berbeda-beda. Namun, bila negara sudah memutuskan, maka keputusan negara itu juga sudah menjadi keputusan semua rakyat.

Jangan sekali-kali karena disapa sebagai ulama, lalu berdakwah secara provokatif agar umat melawan keputusan negara. Belajarlah pada sejarah, Islam diusung untuk pemberontakan kepada negara. Akibatnya, digulung dan umat muslim tetap dalam kemunduran. Sementara umat yang lain meraih kemajuannya di negara hukum ini.

Janganlah ulama ikut berghibah (membincang keburukan seseorang), seperti yang dilakukan oleh sebagian politisi. Politisi berghibah karena takluk di bawah kepentingan politiknya yang terganggu atau bahkan gagal. Ulama tidak boleh takluk di bawah kepentingan politiknya, kalau pun itu ada, karena kebenaran agama yang lebih tinggi dari kepentingan politik mestinya itu yang dijunjung oleh ulama. Lalu, ada yang berkata: “apakah bergunjing dilarang padahal seseorang memang berperilaku buruk?”

Pertanyaan serupa pernah disampaikan seorang sahabat Nabi ketika Nabi melarang manusia berghibah. Nabi saw menjawab: “iya, karena jika kamu berbincang tentang hal seseorang yang faktanya tidak begitu, itu namanya dusta (bohong), bukan ghibah,… keduanya dilarang!”

Ulama tidak mengapa mengulangi terus larangan bergunjing (ghibah). Sebab, kebiasaan bergunjing telah merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat kita. Karena gunjing (ghibah), kehidupan politik berwajah kebencian dan permusuhan. Demokrasi mengajarkan kalah dan menang sebagai akibat yang biasa dalam pemilu. Tapi, karena ghibah, wajah permusuhan masih dibawa setelah pemilu selesai. Dalam masyarakat berwajah permusuhan sebagai akibat kontestasi demokrasi, di sinilah ulama berdiri guna mengubahnya menjadi masyarakat yang kembali berwajah damai dan persahabatan.

Sekali lagi, ulama harus melepaskan diri dari kepentingan politik aliran/golongan/partisan ketika masyarakat hanyut di arus ghibah politik. Dalam masyarakat yang masih asyik berghibah politik, membimbingnya untuk tidak berghibah adalah jihad (perjuangan yang berat). Ulama hendaknya mengambil peran dalam jihad ini. Karena jihad ini menggerakkan bangsa meraih kemajuannya!

News Feed