English English Indonesian Indonesian
oleh

RUU Penyiaran: Menakar yang Untung dan Buntung

Oleh: Amar Ma’ruf, Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas

            Ketuk palu sidang masih ada beberapa waktu. Namun perlahan dan hampir pasti, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran ini akan segera disahkan.

Dengan segala polemik dalam pasal-pasalnya, terkait diberangusnya kebebasan Pers lewat larangan penayangan jurnalisme investigasi dan hilangnya akses pemenuhan kebutuhan masyarakat akan informasi yang mencerdaskan. Lebih jauh, dalam periode ke depan, RUU Penyiaran ini berpotensi melemahkan demokrasi.

            Pada dasarnya, RUU Penyiaran telah menjadi Program Legislasi Nasional tahun 2020-2024. Artinya, telah menjadi prioritas untuk dibahas bersama DPR. Masuknya RUU Penyiaran dalam PROLEGNAS dikarenakan urgensi dan tuntutan kemajuan zaman. Mengingat bahwa Undang-Undang yang berlaku sekarang (UU Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran) tidak memuat aturan terkait penyiaran digital. Sedangkan perkembangan teknologi—dalam beberapa tahun terakhir—perlahan meninggalkan penyiaran audio visual konvensional.

            Perkembangan teknologi yang tidak terbendung lagi mengakibatkan kekosongan peraturan dalam ranah penyebaran informasi. Dalam kata lain, peraturan lama yang masih berlaku tersebut telah usang, sehingga perlu untuk dilakukan perubahan. Namun, perubahan yang dilakukan harus tetap dalam koridor menjawab tantangan perkembangan zaman. Dengan tetap memperhatikan substansi berupa tujuan dari penyiaran itu sendiri, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

            Pada kenyataannya, dalam draf RUU Penyiaran (27/03/2024) terdapat pasal-pasal yang bermasalah. Salah satunya adalah Pasal 50B ayat 2 poin c yang memuat larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Jika diartikan, larangan ini berarti hasil dari kerja jurnalisme dalam berupaya mengungkap fakta yang terjadi tentang suatu kasus tidak lagi dapat diakses oleh masyarakat. Padahal, informasi yang dihasilkan dari kerja jurnalistik investigasi bermanfaat untuk menunjukkan kebenaran.

            Selain itu, Pasal lain yang juga bermasalah adalah Pasal 8A poin q dan Pasal 42 ayat 2 yang memberikan kewenangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa dalam kegiatan jurnalistik penyiaran. Padahal, hal-hal yang menyangkut sengketa dan etika jurnalistik telah menjadi wewenang Dewan Pers. Kehadiran Pasal-Pasal tersebut dalam draf RUU Penyiaran mengakibatkan adanya tumpang tindih kewenangan, yang mana memperluas kewenangan KPI dan mereduksi kewenangan Dewan Pers.

Dampak bagi Pers

            Dampak yang signifikan dapat terbayangkan jika RUU Penyiaran ini disahkan. Hal ini terutama pada Pers, sebagai lembaga yang berupaya mencari informasi dan menyebarluaskannya. Adanya pasal yang melarang penayangan jurnalistik investigasi mengakibatkan jiwa jurnalisme untuk mengungkap kebenaran dibalik berbagai kasus menjadi redup. Atau dapat juga dikatakan diberangus dengan adanya pasal ini. Padahal jika kita lihat berbagai kasus selama ini, kehadiran jurnalisme investigasi justru membantu pengungkapan berbagai fakta yang tersembunyi. Yang mana, hal ini membantu penyelesaian berbagai kasus. Kehadiran pasal ini—bukannya mendukung—justru membatasi kebebasan Pers.

            Selain potensi hilangnya kebebasan Pers, dampak lain dari RUU ini adalah hilangnya fungsi Pers dalam melakukan check and balance terhadap kebijakan Pemerintah. Pemerintah bukanlah sosok sempurna tanpa celah yang segala kebijakannya membawa kebaikan bagi Masyarakat. Pemerintah tentu memiliki banyak kekurangan. Ada kekurangan yang terlihat mata, dan ada juga kekurangan yang membutuhkan upaya lebih untuk melihatnya. Di sinilah peran Pers dibutuhkan. Untuk mengungkap yang tidak dapat dilihat oleh mata awam, lewat investigasi mendalam. Namun, fungsi ini tereduksi oleh adanya pasal bermasalah ini.

Dampak bagi Masyarakat

            Bagi Masyarakat, larangan penayangan jurnalistik investigasi mempersempit pilihan dalam mengakses informasi atau produk jurnalisme yang berkualitas. Seperti yang kita ketahui, semakin eksklusif suatu investigasi maka semakin dalam hasilnya. Membongkar berbagai fakta yang bersembunyi, yang pada akhirnya mempengaruhi sikap publik. Dengan adanya larangan penayangan, masyarakat menjadi buta terhadap fakta. Sebab informasi yang diperoleh sangat terbatas dan tidak mendalam. RUU ini bukannya menjamin pemenuhan kebutuhan Masyarakat akan informasi, tapi sebaliknya, menutup jalan dan kontradiktif terhadap tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.

            Dari sekian banyak dampak buruk yang menyasar Pers dan Masyarakat, terselip pertanyaan “siapa yang diuntungkan jika RUU ini disahkan?”. Secara eksplisit, tentu kita tidak dapat menyebut siapa yang diuntungkan. Tapi dapat kita duga bahwa yang diuntungkan adalah mereka yang dirugikan dari adanya kerja-kerja jurnalisme investigasi. Mereka yang takut keburukannya terbongkar, mereka yang punya banyak kesalahan dan dosa-dosa pada publik.

            Masih ada waktu sebelum RUU Penyiaran ini disahkan. Maka dari itu, perlu untuk mengawal jalannya pembahasan terkait RUU ini. Jangan sampai pasal-pasal yang bermasalah tersebut lolos. Sebab jika pasal tersebut lolos dan diundangkan, kemunduran demokrasi di depan mata dan kebebasan Pers tinggal cerita. (*)

News Feed