English English Indonesian Indonesian
oleh

Sinergi Ilmu Obgin FK UMI

Selasa (07/05/24) Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia (UMI) menyambut kedatangan tim Evaluasi Lapangan Direktorat Kelembagaan Dikti. Tim evaluasi lapangan terdiri atas unsur Kemenkes, AIPKI, Asosiasi RS Pendidikan Indonesia, IDI, dan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia. Evaluasi dilakukan untuk memastikan kesediaan FK UMI yang menjadi PTS Pertama di Indonesia yang buka Prodi Obstetri dan Ginekologi. Pembukaan prodi ini dianggap sangat penting sebagai sumbangsi FK UMI dalam pemenuhan kebutuhan akan dokter kandungan di negeri ini yang masih kurang di tengah tingginya angka kematian ibu saat melahirkan.

Yang menarik Prodi Obgin FK UMI ini, selain lulusannya dapat memberikan pelayanan kesehatan yang holistik (terutama adanya muatan ilmu agama) dan komprehensif serta professional, juga menekankan tambahan pengetahuan berupa gizi ibu hamil. Sebagaimana diketahui, salah satu ciri ilmu yang diajarkan di UMI adanya muatan ilmu (pengetahuan ) agama yang disinkronkan dengan bidang ilmu yang diminati. Termasuk dalam kurikulum prodi Obgin, penekanan ilmu agama menjadi basis dalam mengejawantahkan ilmu tersebut.

Saya teringat perkataan Imam Syafi’I ra. dalam Ta’lim al-Muta’allim, ilmu itu hanya ada dua macam; ilmu fiqih (‘ilm fiqh), untuk mengetahui seluk-beluk agama, dan ilmu kedokteran (‘ilm at-thib) untuk mengetahui kondisi badan. Jika kedua ilmu ini disinergikan, akan menghasilkan sebuah pemahaman yang luas dan mendalam tentang hakikat diri manusia, bahwa diantara keduanya memiliki keterkaitan yang saling melengkapi (misalnya ketika membahas tentang bab at-thaharah dan beberapa pembahasan lainnya). Ketika kedua ilmu ini dibicarakan pada ranah yang berbeda, dengan dunianya masing-masing, satu di Perguruan Tinggi Islam (al-lum al-Diniyah/religious science), satu di Perguruan tinggi Umum (general science), maka ilmuwan di bidangnya masing-masing membuat dikotomi yang saling bertolak belakang.

Paradigma pemikiran dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum bukan persoalan baru dalam sejarah perkembangan pengetahuan di dunia Islam. Hal ini dimulai ketika penolakan terjadi tidak hanya terhadap ilmu-ilmu yang bersumber dari penalaran akal, seperti ilmu filsafat dan matematika, tetapi juga dari ilmu yang berlandaskan aspek empiris, seperti astronomi, kedokteran, fisika, dan lain-lain. Dalam perkembangannya, kaum sunni ortodoks menolak secara tegas ilmu yang berlandaskan nalar rasional dan ilmu yang berdasarkan data empiris. Sebaliknya kaum mu’tazilah menekuni ilmu tersebut. Penolakan tersebut tidak lepas dari pemikiran yang berlandaskan bahwa ilmu-ilmu tersebut tidak selaras dengan kebenaran wahyu (Azumardi Azra, 2001). Melihat kenyataan tersebut, sudah tidak relevan lagi dengan dinamika masyarakat di era modern ini untuk membuat sekat-sekat primordial adanya dikotomi dua ilmu tersebut.

Seiring dengan besarnya minat untuk mengkaji ilmu umum dalam perspektif Islam, sebagian cendekiawan muslim mencoba menyinergikan kedua ilmu tersebut dengan memberi label islamisasi ilmu pengetahuan. Sebab dalam pandangan mereka, semua ilmu pengetahuan setara kedudukannya, karena dalam Islam pun tidak membedakan keduanya, semuanya wajib dipelajari. Islam tidak memandang ilmu-ilmu umum lebih rendah secara hierarki dibanding ilmu agama. Sufi al-Arabi mengatakan, ilmu tidak dapat dirumuskan dalam pengertian esensialnya serta tidak mungkin ditentukan batasan-batasannya karena ia meliputi segala ikatan. Tiada sesuatupun yang gemilang cahayanya selain daripada ilmu yang tempat bersemayamnya di hati.

Dengan melihat perkembangan pengetahuan dan antusias kaum muslim dalam pencerahan pencarian ilmu, maka menjadi tanggung jawab perguruan tinggi yang berlabel Islam untuk menjawab tantangan tersebut. Dan UMI, adalah salah satu PTS yang mencoba mensinergikan pengetahuan umum dan pengetahuan Islam. Wallahu a’lam (*)

News Feed