”Artinya, BPKP harus mengupayakan tidak terjadi kesalahan. Namun yang namanya kebijakan, memang sering diasumsikan ada kesalahan yang terjadi, kelemahan, dan seterusnya, pada fungsi-fungsi itu tadi,” tuturnya.
Guru besar Ilmu Politik dan Pemerintahan Unhas itu mengatakan, jika seandainya saja BPKP tidak ada dan tidak ada juga instansi yang mengambil peran pengawasan, maka kekhawatiran patut muncul, khususnya dalam bergulirnya roda pemerintahan.
”Nah kalau BPKP tidak ada dan tidak ada juga institusi lain yang memainkan peran itu, tentu kita mengkhawatirkan masifnya pelanggaran. Meski dengan tidak adanya BPKP juga tidak menjamin langsung terjadi pelanggaran,” ungkapnya.
Sehingga, jika BPKP tidak ada maka peran kontrol dan pengawasan akan gamang dan mengkhawatirkan. Artinya, potensi kekeliruan tidak bisa dideteksi sejak dini atau dibenahi dari awal.
”Karena prinsip dasarnya jangan sampai terjadi, kalau sudah terjadi kan lain lagi ranahnya. BPKP kan mencegah supaya tidak terjadi hal-hal seperti itu (pelanggaran). Jadi kalau tidak ada BPKP, upaya preventif pencegahan kekeliruan pada akses keuangan dan pembangunan dalam pemerintahan akan lemah,” jelasnya.
Dia juga menjelaskan, dalam konteks ini kehadiran BPKP sangat penting. Tujuannya, agar kekeliruan tidak banyak terjadi. Sebab jika masif terjadi, maka secara otomatis banyak pelanggaran yang mengiringi perjalanan roda pemerintahan.
”Tentu saja pemerintah sangat rentan di tengah tuntutan untuk menjadi sempurna. Maka BPKP melakukan pengawasan untuk memaksimalkan penyempurnaan itu tadi,” lanjutnya.