Oleh:
Nurul Adelia
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM)
Saat ini sedang menjalani Program Magang Jurnalistik di Harian FAJAR
DI sebuah kompleks perumahan yang tenang dan damai, hiduplah seorang remaja bernama Rumi bersama ayahnya, Ahmad.
Rumi, yang kini telah memasuki masa SMA, berusia 16 tahun. Kehidupan mereka hanya berdua. Ibunya telah meninggal dunia saat Rumi masih kecil. Meskipun hanya tinggal berdua, Rumi tahu betul bahwa ayahnya adalah seorang pahlawan yang selalu bekerja keras untuk mencari nafkah.
Rumi bangga akan keberadaannya. Meski tanpa ibu, Rumi selalu yakin bahwa selama ayahnya masih bersamanya, segalanya akan baik-baik saja.
Setiap pagi, Ahmad dengan penuh kasih membuatkan bekal untuk mereka, sementara Rumi bersiap-siap untuk sekolah. Setelah Rumi siap, ayahnya juga sudah rapi mengenakan pakaian untuk pergi bekerja.
“Rumi, sarapan dahulu sini. Biar semangat di sekolah,” ajak Ahmad sambil tersenyum.
Rumi dengan cepat menghampiri meja makan dan menikmati sarapan yang telah disiapkan oleh ayahnya. Setelah selesai, Ahmad mengambil sepeda dan mengantar Rumi ke sekolah.
Saat tiba di sekolah, Rumi memberi salam dan mencium tangan ayahnya sebelum masuk kelas. Ia mendapat uang jajan yang lebih banyak dari biasanya. Rumi terkejut dan bertanya pada ayahnya, yang hanya tertawa kecil dan menjelaskan bahwa itu adalah bonus yang ia terima.
Senyum bahagia terpancar di wajah Rumi, saat ia berjalan masuk ke dalam sekolah. Melambaikan tangan kepada ayahnya yang tersenyum.