English English Indonesian Indonesian
oleh

Etika dalam Eksploitasi

Parahnya karena jelang pembacaan putusan MK (22/4/2024), tim kuasa hukum mereka berulang-ulang menyatakan keyakinannya pada publik bahwa mereka pasti menang. Hal ini jelas melanggar kode etik advokat yang dilarang keras menjanjikan kemenangan pada klien karena soal menang atau kalah dalam berperkara, semuanya merupakan otoritas hakim. Lebih tragis lagi karena meski mereka dinyatakan kalah oleh putusan MK, mereka tetap merasa menang seraya memblow up dissenting opinion dari 3 hakim MK yang mereka puja sebagai dewa kebenaran.

Mereka abai dengan mekanisme baku dalam pembuatan putusan apapun, yang selalu mengacu pada suara terbanyak jika mufakat bulat tidak dapat dicapai. Untuk memperkecil malu, mereka membangun narasi menggelikan bahwa kekalahan dalam putusan MK lebih karena Suhartoyo membelot. Mereka bahkan mengklaim bahwa jika Suhartoyo konsisten mengikuti kelompok dissenting opinion, maka merekalah yang seharusnya menang. Sebuah klaim yang mengutak-atik nalar sehat karena mendewakan pengandaian untuk mewujudkan ambisi dan halusinasinya sebagai pemenang.

Celakanya karena amicus curiae yang menjadi jalur partisipasi aliran putih untuk menguatkan kekaburan hukum di MK, dieksploitasi oleh kepentingan politik. Mereka melakukan intervensi terselubung yang dibalut dengan jubah demokrasi dan keadilan. Jargon negarawan pun digunakan untuk menyogok hakim MK yang berani mengambil posisi seperti mereka.

Biangkerok semua ini mereka lakukan karena faktor tunggal: “tak mau menerima kekalahan”, hingga sumpah integritas peserta pemilu yang mereka pernah tanda tangani: “siap menang siap kalah” mereka khianati. Karena itu jika konsisten berpegang teguh pada nilai etika, maka mereka harus mengharamkan diri masuk apalagi menikmati tawaran apapun dari pemenang, karena bukankah mereka yakin bahwa kemenangan yang diraih oleh 02 adalah hasil kecurangan. (*)

News Feed