Direktur Lembaga Anti Korupsi Sulsel (Laksus), Muh Ansar meminta semua pihaknya yang terlibat dalam perkara tersebut harus ditetapkan sebagai tersangka. Termasuk warga yang menerima manfaat dari dugaan korupsi pembebasan lahan tersebut.
“Bocorannya banyak orang yang menikmati pembebasan lahan tersebut. Sehingga mereka juga harus ditersangkakan. Jangan ada yang tidak dijerat, ini bisa dikatakan mafia tanah,” akunya.
Sebelumnya penyidik bidang pidana khusus (Pidsus) Kejati Sulsel menetapkan enam orang tersangka dalam dugaan mafia tanah pembangunan bendungan Passelorang, Wajo. Mereka terdiri dari satu ASN BPN Wajo, dua kepala desa, dan tiga anggota satgas B dari perwakilan masyarakat.
Mereka adalah ketua satgas B pada kantor pertanahan Wajo Andi Akhyar Anwar (AA), Kepala Desa Pasellorang Andi Jusman, dan Kepala Desa Arajang, Jumadi Kadere. Sedangkan untuk tiga anggota satgas B dari perwakilan masyarakat adalah Ansar, Nundu dan Nursiding.
Pada tahun 2015 balai besar wilayah sungai Pompengan jeneberang (BBWS) melaksanakan pembangunan fisik Bendungan Passeloreng di Kecamatan Gilireng, Wajo. Lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng diantaranya terdapat lahan yang masih masuk dalam kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Laparepa dan Lapantungo. Letaknya di Desa Passeloreng dan Kabupaten Wajo yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai kawasan HPT.
Selanjutnya dilakukan proses perubahan kawasan hutan dalam rangka review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulsel. Salah satunya untuk kepentingan pembangunan Bendungan Panselloreng. 28 Mei 2019 terbit surat keputusan menteri lingkungan hidup dan kehutanan RI no SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019 tentang perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas +91.337 HA. Perubahan fungsi kawasan hutan seluas + 84.032 HA dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas + 1.838 HA di Sulsel.