Dengan sedikit gurauan seorang teman berkata kepada saya ketika melihat kondisi saya sakit. “Dokter kok sakit.” Emang dokter itu Dewa, sehingga penyakit takut sama dia. Dokter juga manusia, bahkan ada teman bilang, kalau dokter sakit, lebih parah dari pasiennya. Masyarakat awam sering mengira bahwa dokter itu tidak gampang sakit, walaupun sakit cepat sembuhnya, karena dia tahu obatnya.
Sebagaimana manusia lainnya, dokter pun rentan sakit, bahkan dengan melihat beban kerjanya, terutama di RS, apalagi yang mengambil PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis). Bukan hanya beban fisik, juga beban psikis mengintai mereka dalam menjalankan tugas kemanusiaan. Benar kata seorang TS (Teman Sejawat) menjadi seorang dokter merupakan pekerjaan yang melelahkan dan dapat berakhir pada terjadinya depresi.
Tidak heran, hal ini terungkap dalam data terbaru Kementerian Kesehatan terhadap 12.121 dokter yang menjalani PPDS di 28 rumah sakit vertikal. Hasil skrining menyebutkan 22,4 persen peserta PPDS mengalami gejala depresi, dan 0.6 persen di antaranya mengalami depresi berat, bahkan ditemukan dokter yang ingin bunuh diri. Dari 22,4 persen PPDS yang mengalami depresi, 381 orang (14 persen) menjalani pendidikan spesialis anak, 350 pendidikan spesialis penyakit dalam, 248 anestesiologi, 164 neurologi, dan 153 obgyn. Jika ditotal jumlah dokter yang alami depresi adalah 1.296 orang. (Kompas id, 17/04)
Seorang TS Spesialis Kesehatan Jiwa menyebutkan, survei yang dilakukan Kemenkes berdasarkan hasil skrining kesehatan jiwa PPDS di 28 RS vertikal selama 3 hari di bulan Maret 2024 dengan menggunakan kuesioner PHQ 9 (Patient Health Questionnaire -9) hanya berisi 9 pertanyaan. Menurut TS tersebut, hasilnya tidak bisa dijadikan diagnosa, hanya skrining saja, masih perlu ditelusuri lagi. Tidak ada kesimpulan, tidak ada saran, hanya sekadar deskriptif saja. Hasil ini memang tidak bisa dijadikan standar bahwa sebagian PPDS betul mengalami depresi, masih perlu dilakukan riset yang mendalam, yang tidak hanya 9 pertanyaan, jika perlu dilakukan riset kualitatif.
Walaupun gambaran ini tidak bisa juga dipungkiri, dokter-dokter yang baru lulus kemudian bekerja beberapa tahun, apalagi selepas internship nekat ambil spesialis menghadapi risiko berat dalam menempuh PPDS. Berbeda dengan dokter inpres yang lulusan tahun 70-an atau dokter jebolan PTT tahun 90-an yang sudah mandiri, matang, meninggalkan sarangnya di daerah setelah cukup bekal, termasuk kesiapan mental. Era dokter 2000-an bisa dikatakan mengalami banyak tantangan dan kendala dalam melanjutkan spesialis mereka. Selain beban jam kerja dan kelelahan, faktor lain yang memengaruhi dokter bisa depresi adalah beban mental dimana mereka biasa bekerja dalam situasi yang emosional, melihat banyak pasien, kegagalan, ketakutan dan kematian serta hubungan yang tidak baik dengan pasien, keluarga pasien atau staf medis lain. Keseluruhan faktor ini berperan dalam menyebabkan terjadinya depresi pada dokter.
Bagi peserta PPDS, beban kerjanya lebih besar lagi, karena mereka punya target dan waktu yang ditentukan pada setiap stase yang mereka lewati. Di setiap stase mereka juga sering mendapat perundungan dari seniornya, yang kadang lebih killer dari supervisor ditambah tugas laporan dan baca jurnal yang harus diselesaikan. Tekanan itu bertambah ketika mereka menghadapi pasien dengan tingkat sosial, ekonomi dan budaya yang berbeda. Dan, jangan lupa, faktor lain yang juga berkontribusi adalah biaya pendidikan dalam program PPDS yang mahal dan dibiayai pribadi.
Jadi, kalau dokter bekerja di luar kemampuannya, apalagi di luar nalarnya, depresi akan menantinya…. Iya ka’. Wallahu a’lam.