Anak PMII biasa menyebutnya kultural dan struktural. Bagi yang menongkrongi pengetahuan disebutlah orang kultural, dan yang getol berpolitik disebutnya orang struktural. Padahal keduanya tak perlu pendikotomian, keduanya bukanlah musuh bebuyutan.
Untuk men-disclaimer pemahaman ini, saya memakai teori Ali Syari’ati yang menyebut bahwa intelektualisme tanpa aktivisme itu percuma dan aktivisme tanpa intelektualisme itu sia-sia. Dua wilayah ini adalah dua kutub yang saling memengaruhi yang apabila salah satunya tenggelam, maka akan menyebabkan kerusakan dan kehancuran.
Sederhananya, intelektualisme itu adalah sikap atau cara pandang yang berasal dari aktivitas nalar dan mental. Kerjanya adalah mencandra pengetahuan. Sedangkan, aktivisme adalah wilayah strategi, basisnya adalah lapangan. Dalam dunia aktivisme, perubahan itu niscaya agar terjadi keseimbangan. Dengan demikian, keseimbangan haruslah memadukan dua kekuatan itu tadi. Orang kultural dan orang struktural, intelektualisme dan aktivisme, keduanya perlu berjalan beriringan.
Sebab itu dikatakan nalar, mental, dan gerak selalu terpaut. Bahwa memulai gerak harus diawali oleh kerangka nalar dan mental yang kokoh. Sementara gerak merupakan puncak dari nalar dan mental yang kokoh itu tadi. Pengetahuan betapapun kuatnya, harus dikontekstualisasikan dalam bentuk gerakan. Pengetahuan harus dikonversi menjadi strategi gerakan. Dan, sebetulnya sosok Mahbub Djunaid sudah mengajarkannya. Hanya saja kadernya lupa meneladani atau tidak membaca artefak pemikirannya. Ataukah (mungkin) kader PMII lupa dan memang tidak pernah belajar dari sejarahnya sendiri ?