Dalam harian Duta Masyarakat, Mahbub Djunaid mengemukakan pendapatnya tentang Pancasila. Pancasila memiliki kedudukan lebih sublim dari Declaration of Independence bikinan Thomas Jefferson yang merupakan pernyataan sejarah kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776 dan Manifesto Komunis yang tulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels tahun 1847. Tulisannya tentang Pancasila sebab itu menyebabkan Presiden Soekarno takjub.
Dalam tulisannya yang lain, Mahbub Djunaid tegas mengatakan mahasiswa dan politik itu sangat terkait. Dalam konteks PMII, ia mengatakan PMII harus tegas menyatakan independensinya secara struktural dari NU, kendati secara kultural PMII adalah Islam Ahlu Sunnah wal Jama’ah An-Nahdliyyah sampai mati. Pernyataan independensi PMII adalah keharusan sejarah dan merupakan bukti dinamisnya gerakan anak muda. Bahkan tatkala NU menyatakan diri kembali ke Khittah 1926, dialah orang yang menyatakan ketidaksetujuannya. Baginya, NU tetap harus berpolitik. Karena itu, ia mengusulkan agar dibuat Khittah Plus, sebab betapapun itu ajaran/ideologi harus dikontekstualisasikan dalam ruang politik.
Pengetahuan adalah Strategi
Idealisme Mahbub Djunaid layak dijadikan mata air keteladan. Di tengah merosotnya nalar, mental dan gerak kader PMII, warisan pemikiran Sang Pendekar Pena patut menjadi rule model. Sebagai kader, saya menduga, kemerosotan tersebut disebabkan oleh keterputusan nalar dan gerak, teori dan strategi, pengetahuan dan politik. Terjadi semacam miskonsepsi tentang keduanya dan terkesan mengasingkan salah satunya. Sebagian betah berjam-jam terhadap buku dan papan tulis, sehingga menyebabkan alergi terhadap politik. Sebagian lainnya sangat kuat mengkonsolidasi politik, tetapi miskin epistemologi, karena itu terjadi disorientasi gerakan.