Pohon itu simbol pertautan jiwa, kata teman lainnya. Setiap kali dirinya menyiram pohon yang diberikan oleh seseorang, dia selalu mengingat jasa baik orang itu lalu dia mendoakannya. Bahkan ketika pohon itu tumbuh cantik atau berbuah, wajah orang yang menyedekahkan itu seakan selalu hadir di antara dedaunan dan ranting pohon itu.
Pohon itu adalah proses kehidupan itu sendiri. Saat ingin membangun karakter seorang anak, beri dia bibit pohon untuk dia tanam, pelihara, siram, sampai pohon itu mampu tumbuh secara mandiri. Seperti apa pohon itu tumbuh, seperti itulah karakter dirinya.
Itulah, respons seorang pembaca sungguh menusuk. Ketika saya berani bicara menanam pohon, artinya berani untuk melakukan gerakan menanam pohon. Dia menantang gerakan sedekah bibit pohon kepada para mahasiswa, khususnya mahasiswa baru. Lalu mereka diminta mempertanggungjawabkan pertumbuhan setiap bibit sebelum mereka menerima ijazah. Artinya mereka memperoleh kesarjanaan karena mereka telah membesarkan sebuah pohon. Sebuah tantangan mulia yang harus saya disikapi.
Menanam dan membesarkan biji atau benih pohon identik dengan menyiraminya. Menyiram itu proses. Dari proses itu tumbuh karakter; kesabaran, kedisiplinan, atau ketekunan. Saya mengakhiri masalah biji pohon dengan sebuah cerita. Saya tidak menyebutnya lelucon, takut anda tertawa sebelum membacanya.
Seorang laki-laki datang ke dokter THT karena telinganya kemasukan biji kacang hijau yang sulit dikeluarkan. Setelah diperiksa oleh dokter, ternyata biji kacang hijau itu sulit untuk dikeluarkan dan harus dilakukan operasi kecil. Laki-laki itu menanyakan ongkosnya dan dokter menjawab, sekitar 2 juta. Laki-laki itu protes karena kemahalan. Lalu dia bertanya adakah cara yang lebih murah. Dokter mengatakan, ada cara yang lebih murah bahkan gratis tapi harus sabar. Cukup disiram saja telinganya dua kali sehari, kalau sudah tumbuh jadi toge tinggal di tarik keluar. (/*)