Oleh: Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin
Edisi subuh ini saya meneruskan respons panjang dari Sosiolog senior Universitas Hasanuddin, Prof. Tahir Kasnawi, tentang modal Sosial. Respons Prof. Tahir meluruskan ragam modal sosial yang saya ulas, yang mungkin dilihatnya sudah “ke sana ke mari.” Perspektif Prof. Tahir juga berbasis pada kearifan lokal yang menjadi tugas setiap warga lokal untuk melestarikannya. Mari kita ikuti:
“Dari rangkaian ulasan Prof. Hamdan tentang modal sosial, nampak belum menampilkan “modal sosial” yg secara spesifik digunakan orang Bugis Makassar untuk melakukan transaksi sosial, terutama bagi mereka yg merantau melanglang buana ke negeri orang.
Dengan memodifikasi Teori Modal Sosial Pierre Burdeau, maka modal sosial orang Bugis Makassar itu sudah dibakukan dalam filosofi “Tellu Cappa” (Tiga Ujung). Prof Hamdan juga sering mendengar ini, yakni Ujung Badik, Ujung Lidah dan Ujung si Boby.
Filosofi modal sosial ini sudah ada bukti empirisnya. Dengan modal Ujung Badik, Orang Bugis Makassar dipilih oleh Keraton Jogja dulu sebagai Divisi Pengawal Khusus keluarga Keraton. Lalu dengan diplomasi Ujung lidahnya, antara lain, bisa eksis menguasai sosial ekonomi di daerah Papua dengan narasi NKRI. Kemudian dengan ujung si “Boby”nya mampu leluasa kawin-mawin dengan keluarga para Sultan lokal sepanjang Kalimantan bagian Timur. Bahkan ikut menjadi penguasa juga, seperti yg dituturkan dalam sejarah perantauan orang Bugis Makassar.
Filosofi “Tiga Ujung” orang Bugis Makassar ini ternyata lebih atraktif dan produktif dari sekadar modal harta, senyum, dan jaringan.” Demikian respons kritis beliau.