Melalui dialog Ramadan, sejumlah saran disampaikan, termasuk oleh peserta. Seorang peserta yang merupakan ibu dari dua anak disabilitas dan pengurus SSDI menyampaikan pengalaman bagaimana ia tetap berupaya memberi ruang dan mengajar anak-anaknya agama dan beribadah. Mengetahui tauhid dan ibadah merupakan hak anak disabilitas, kata Andi Fitri Balasong Sahabat Sindrom Down Istimewa.
Peserta lainnya dari disabilitas netra dan Tuli. Ilham yang merupakan mahasiswa netra bertanya soal Rukhsah atau prinsip memberikan kemudahan dalam beragama. Sejauh mana pelaksanaan rukhsah ini dapat membuat orang disabilitas merasa nyaman beribadah, atau apakah prinsip rukhsah ini malah justru dapat mengurangi kualitas keimanan seseorang.
Menurut Ishak, rukhsah tidak bisa dipakai hanya berlandaskan kondisi personal seseorang seperti kondisi disabilitasnya, namun juga perlu memasukkan aspek kesulitan akibat aspek sosial dan aspek fisik yang menghambat mobilitas, komunikasi maupun pembelajaran seseorang.
Sementara itu, jemaah Tuli bertanya soal pentingnya ketersediaan Juru Bahasa Isyarat di masjid terutama saat shalat jumat. Saat ini, mulai hadi Bahasa Isyarat Arab yang dapat digunakan oleh Tuli mempelajari Al-Qur’an. Ke depan, penggunaan teknologi komunikasi yang bisa memudahkan orang-orang dengan disabilitas sensorik dapat mengikuti ibadah dengan setara. Misalnya jika tidak ada Juru bahasa Isyarat maka masjid perlu menyiapkan juru ketik atau menggunakan aplikasi ‘voice to texts’ agar apa yang disampaikan langsung tampak pada layar.