Oleh: Suf Kasman, Dosen UIN Alauddin Makassar
Ketahuilah, yang paling besar di dunia ini bukan gunung dan pulau, melainkan hawa nafsu.
Hawa nafsu bila gagal dikendalikan bisa menjadi bumerang. Harakah hawa nafsu memiliki dorongan torpedo super kuat, sebuah keinginan untuk memenuhi predisposisi kesenangan visibel.
Wujudnya bagaikan dua mata bayonet, hawa nafsu bisa menjadi yang baik, tetapi bisa juga menjadi sesuatu yang buruk, tergantung siapa pengemudi evokasi hawa nafsu itu.
Semua manusia difill up dan didandani hawa nafsu (nafsu syahwat). Untuk apa hawa nafsu itu? Sebagai bekal untuk menjalani roda kehidupannya. Hawa nafsu sendiri sebagai dasar penggerak dari segala aktivitas kehidupan umat manusia.
Hawa nafsu mulanya netral, tergantung manusia merealisasikannya. Mau diarahkan untuk tikung kanan (kebaikan) atau tikung kiri (keburukan).
Manusia memiliki otoritas: 𝘗𝘶𝘵𝘢𝘳𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦 𝘬𝘪𝘳𝘪, 𝘬𝘦 𝘬𝘪𝘳𝘪. . . Atau 𝘗𝘶𝘵𝘢𝘳𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦 𝘬𝘢𝘯𝘢𝘯, 𝘬𝘦 𝘬𝘢𝘯𝘢𝘯. . ., bagai lagu senam Maumere.
Namun, senetral-netralnya hawa nafsu, selalu condong kepada sesuatu yang amat disenangi, baik bersikap positif maupun negatif, baik bersifat jasmani maupun rohani. Sebab, krida baik dan buruk selalu dipiloti nafsu itu sendiri.
Aku menolak istilah ‘Cinta Pada Pandangan Pertama’. Yang ada ‘Nafsu Pada Pandangan Pertama’, lalu dipersepsikan sebagai cinta suci.
Cintanya subur berepisode bagai pelajaran kimia, bukan cuma teori tapi disusul praktik. Inilah jenis manusia pemburu nafsu. Tak mampu mengontrol tingkah laku. Bujuk rayu hawa nafsu membuatnya kaku.