Oleh: Asmiati Arsyad, Mahasiswa S3-Konsentrasi Pemikiran UIN Alauddin Makassar
“Semula kita adalah titik, titik-titik, kumpulan titik, dihubungkan, membentuk garis, membentuk pola, membentuk-bentuk, sebuah bentuk”
Beribu-ribu, berpuluh-puluh ribu, beratus-ratus ribu, berjuta-juta, tak terkirakan jumlah buku di dunia yang telah dan pernah membahas Khazanah Intelektual Islam jauh di sebuah masa, di masa lalu. Kelak, akan muncul beribu-ribu buku lagi, yang mendongeng-dongengkan kisah agung tentang kehebatan umat Islam. Diceritakan, berkali-kali, berulang-ulang, dengan penuh semangat dan menggebu-gebu bagaimana semangat intelektual para filosof muslim menemukan, mengembangkan, melahirkan, karya agung dan mengagumkan. Gagasan-gagasan yang besar, mencengangkan, mencerahkan, menginspirasi. Kita, yang hidup saat ini, hanya bisa mendengarkan kisahnya dengan takjub. Kita hanya bisa terheran-heran. Kita hanya bisa mengenang kembali semangat intelektual itu. Kita hanya bisa menceritakan kembali, dengan mulut berbusa. Kita hanya bisa sampai di situ, kita tidak bisa pergi lebih jauh, melampaui apa yang pernah para kaum intelektual kita wariskan.
Cobalah kita tarik pada satu titik, dimana satu kaum diberikan satu warisan.Warisan itu kemudian dinama Al-Qur’an. Sebuah kitab suci. Sebuah mukjizat, berbahasa arab, kata perkata, baris perbaris, halaman per halaman, ayat per ayat, surah per surah, juzperjuz, kisah perkisah, kisah nyata, kisah tidak nyata, kisah beribu kisah, kisah semua kisah, semuanya ada dalam kitab itu, ditulis dengan sastra yang indah. Tapi Al-Qur’an hanyalah tinggal Al-Qur’an, jika kita tidak memfungsikannya dengan baik. Sebaik-baiknya.