Oleh: Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin
Saya belum “move on” dari pembahasan tentang “jatuh,” karena ada banyak “gangguan”. Tanggapan pembaca terkadang di luar alur pikir saya yang terbatas. Respons mereka sering tidak terduga di benak saya.
Seorang teman mengatakan, kejatuhan bisa menjadi dasar persatuan, bahkan lahirnya keutuhan itu dari sebuah proses jatuh, namanya jatuh hati. Syaratnya, hati yang dijatuhi itu juga membalas, tidak bertepuk sebelah hati. Kalau keduanya jatuh hati adalah langkah awal terjadinya pertautan hati dan dari situ dimulailah keberlanjutan kehidupan.
Bahkan seorang cerdik-cendekia, Prof. Sofyan Salam, menanggapi panjang coretan saya, bahwa dalam tradisi lokal yang dipahaminya, istilah jatuh itu bisa bermakna netral, tidak mesti bermakna negatif atau merugikan. Bahkan bisa bermakna positif, misalnya jatuh cinta. Faktanya, banyak yang ingin mengulangi pengalaman jatuh seperti itu. Prof. Sofyan lebih ekstrem lagi menyebut ungkapan lokal yang berarti “jatuh ke atas,” ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan tampakan kejatuhan yang dialami seseorang padahal itu adalah proses menuju puncak.
Namun teman lain melihat istilah jatuh itu sering memang ditujukan pada hal yang negatif, misalnya: sudah jatuh ketimpa tangga. Itulah sebabnya teman itu mengulas mengapa orang tidak mengatakan “hujan jatuh” tapi “hujan turun” padahal hujan itu adalah air yang mengalami proses kejatuhan dari awan. Hujan tidak dipersepsi sebagai jatuh karena hujan itu adalah rahmat bagi kehidupan. Ada juga ungkapan “jatuh-bangun” untuk memastikan bahwa jatuh itu berada di sisi yang kurang menguntungkan.