Oleh: Aswar Hasan
Negarawan Nelson Mandela, Bapak Afrika Selatan dan peraih Nobel Perdamaian dalam setiap ceramahnya kerap menyatakan, bahwa etika moral harus menjadi fondasi dari keputusan politik dan pemerintahan. Keberanian moral adalah kunci untuk memastikan keadilan dan kesejahteraan bagi semua warga negara. Pernyataan ini, menekankan pentingnya moralitas dalam mengambil keputusan politik dan memimpin suatu negara, serta pentingnya memiliki keberanian moral. Bukannya keberanian untuk melanggar prinsip etika moral dalam bernegara, untuk memastikan keadilan dan kesejahteraan bagi semua warga negara.
Pemimpin di negara ini, tampaknya harus belajar ke Mandela soal etika dalam mengelola negara. Betapa tidak, negara saat ini lagi dilanda kebangkrutan etika moral (Republik Bangkrut Etika, Aswar Hasan, Fajar,13/2/2024).
Persoalan etika dan kepatutan makin jauh dari perilaku sebagian elite di negeri ini. Bayangkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum lagi menetapkan secara resmi siapa presiden terpilih tahun ini, tetapi kabinet yang dipimpin Presiden Joko Widodo dalam rapat yang digelar di Istana Negara, Jakarta, (Senin,26/2/2024) sudah membahas program makan siang gratis dari pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka selama kampanye pemilu (Media Indonesia, 27/2/2024).
Pembahasan alokasi program makan siang gratis dalam RAPBN 2025 dinilai terlalu terburu-buru atau “lancing” secara teknokratis. Program rezim pemerintahan yang baru semestinya dibahas dalam APBN Perubahan yang akan disusun setelah resmi menjabat. Peneliti anggaran publik dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), Bernard Allvitro, menilai pembahasan rencana program makan siang gratis dalam RAPBN 2025 terkesan sangat prematur. Ini bentuk KELANCANGAN TEKNOKRATIS. Berjalan tanpa memperhatikan hasil akhir pemilihan presiden yang resmi dikeluarkan KPU (kompas, 20/2/2024).