“Selama ini saya berdoa kalau salat-ka, ‘Ya Allah jangan dulu kasih keras hujan kasihan, biar-ki dulu agak baik sedikit rumahku’, walaupun begini-ji yang penting tidak basah turun,” harap Sarianong dengan suara bergetar menahan tangis.
Gubuk itu dilengkapi dengan aliran listrik, hibah gratis dari tetangga. Listrik itu hanya menanggung satu buah lampu penerangan, dan kipas baling-baling, yang badannya sudah setengah kayu. Diikat untuk menopang, agar delapan orang semua kena hawa sejuknya.
Air minumnya juga disuplai si anak muda, yang rutin berkunjung ke rumah Sarianong. Teman main Rajab, seorang sekuriti di sebuah perumahan. Air itu berasal dari aliran PDAM di tempat sang anak muda berjaga.
Untuk keperluan mandi, cuci piring, dan wudu, ia mengandalkan sumur tetangga. Namun, untuk buang air besar, mereka harus menempuh jarak lebih 500 meter berjalan kaki menuju masjid terdekat di dalam kawasan perumahan.
Sarianong sama sekali tidak tampak kecewa dengan hidupnya. Ia pandai sekali bersyukur. Kesehariannya memulung dengan rata-rata penghasilan Rp30-50 ribu sudah cukup untuk membeli beras.
“Biasa ku bilang sama anak-cucuku, sabar nah, ini-ji saja rejekiku yang bisa ku bawa, dan anak-anakku mengerti-ji. Kadang juga kusisihkan untuk biaya sekolah anakku. Yang penting rejekinya halal, saya tidak mau ringan tangan mengemis, selama masih kuat kerja apapun,” tegas Sarianong.
Anak bungsu Sarianong, Rajab berusia 15 tahun. Ia saat ini duduk di Kelas VIII di SMP Negeri 13 Makassar. Sehari-hari, Rajab harus bangun lebih dulu dari ayam berkokok.