English English Indonesian Indonesian
oleh

Ulama Perempuan NU Raih Gelar Doktor Ushul Fikih di Universitas Al-Azhar dengan Predikat Summa Cumlaude

Karena ada pembaca dari kalangan yang awam, ada juga pembaca yang menguasai istilah-istilah klasik tetapi tidak terbiasa dengan idiom-idiom kemodernan.Dalam paparan disertasi setebal enam ratus sembilan puluh halaman ini, promovendus yang pernah menjadi pengurus PP Fatayat NU dan LKK PBNU selama dua periode ini menyatakan bahwa sangatlah urgen pada masa kini untuk mengarusutamakan ijtihad kolektif, dengan catatan bahwasanya setiap anggota lembaga ijtihad kolektif tersebut seharusnya mempunyai kualifikasi-kualifikasi yang memadai untuk melakukan kajian hukum Islam langsung dari sumbernya, agar bisa menjawab permasalahan-permasalahan kekinian.

Anggota lembaga ijtihad kolektif ini tidak cukup dengan kapasitas representatifnya saja; misalnya karena mewakili satu segmen masyarakat atau organisasi tertentu. Menurut dosen UIN Syarief Hidayatullah Jakarta ini, lembaga-lembaga fatwa dan ijtihad kolektif sekarang ini mempunyai tiga kecenderungan besar.

Yang pertama adalah lembaga fatwa yang konsisten berpegang kepada salah satu madzhab yang mu’tabarah (absah), seperti Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Nahdlatul Ulama dan Dar al-Ifta’ Yordania. Dilihat dari tahun berdirinya, LBMNU bisa dikatakan sebagai lembaga fatwa dan ijtihad kolektif yang berdiri pertama di dunia.

Yang kedua, lembaga fatwa dan ijtihad kolektif yang tidak berpegang kepada salah satu madzhab, bahkan mengklaim langsung mengambil hukum Islam dari sumbernya: Al-Qur’an, Hadits dan Ulama Salaf. Di antara model kedua ini adalah Al-Lajnah al-Da’imah lil-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’, Saudi Arabia dan Majlis Tarjih Muhammadiyah di Indonesia.

News Feed