Pemilu, Subjek dan Kehendak Berkuasa
Dengan melibatkan argumen fondasional Nietzsche, sebagai warga negara kita baru saja melewati satu puncak pesta demokrasi, yakni Pemilu. Pemilu adalah pertarungan, yang secara yuridis konstitusional didasarkan atas prinsip-prinsip yang koheren dengan nilai-nilai transenden. Pemilu yang “langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil” adalah merupakan prinsip yang transenden, dan bagi subyek, baik peserta pemilu, penyelenggara pemilu maupun masyarakat wajib tunduk dibawah universalitas nilai-nilai tersebut.
Tetapi subyek, tidak selalu men-transendensi universalitas prinsip, karena seolah ada distingsi antara proses dan tujuan. Bagi subyek, berkuasa adalah ujungnya, sebab itu, apapun prosesnya, yang penting sampai diujung. Tetapi bagi prinsip, apapun hasilnya, maka perbaiki semua prosesnya, sebab disitu ada guidelines bagi subyek untuk tidak keluar dari rule of the game, atau aturan main yang sudah ditetapkan.
Pemilu adalah ritual atau upacara demokrasi formal. Di dalam demokrasi, ada freedom, kebebasan. Tetapi freedom harus tumbuh dibawah wisdom, kebijaksanaan. Untuk menjembatani itu, positivisme hukum sudah menyiapkan perangkat yang cukup detail untuk dilaksanakan oleh subjek, seperti UU Pemilu, Peraturan KPU, Peraturan Bawaslu, dan seluruh UU terkait.
Eksistensi hukum positif ini adalah untuk mencegah freedom tak terkendali, supaya kebenaran tetap menjadi spirit kehendak berkuasa. Meskipun demikian, dalam Pemilu kali ini, positivisme hukum, prinsip-prinsip Pemilu dan wisdom berseberangan dengan kehendak berkuasa.