FAJAR, MAKASSAR – Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres memakan korban. Dua pejabat negara dapat sanksi.
Korban pertama adalah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. Adik ipar Presiden Joko Widodo ini dinyatakan melanggar kode etik berat berupa benturan kepentingan. Sanksinya berat, dicopot dari jabatan Ketua MK.
Semua terkait Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023 yang mengubah Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan itu meloloskan Gibran Rakabuming Raka maju menjadi cawapres meski umurnya baru 36 tahun.
Korban kedua adalah Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKKP) memberikan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim. Komisioner KPU lainnya juga dapat sanksi serupa.
Sanksi ini lagi-lagi terkait Gibran. Hasyim dan kawan-kawan disebut melanggar kode etik pedoman perilaku penyelenggara pemilu. KPU langsung menjalankan putusan MK. Padahal, putusan tersebut harus ditindaklanjuti oleh DPR dan Pemerintah, melalui legislative review dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Mantan Ketua DKPP periode 2017-2022 Prof Muhammad, menuturkan putusan DKPP itu telah final dan mengikat. Tidak bisa ditinjau kembali dan dikoreksi. Meski demikian, sanksi ini tak akan mengubah pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.
Apakah ada dampak terhadap pencalonan Gibran sebagai cawapres? Menurutnya dia, sepanjang diputusan DKPP tidak disebut bahwa pencalonan Gibran bermasalah dan harus dikoreksi, tidak ada dampaknya. Sehingga Gibran akan tetap cawapres. Jika melihat putusan tersebut, kata dia, intinya DKPP konsennya di wilayah etik saja. Putusan tersebut tidak merubah pencalonan Gibran. Sehingga menurutnya memang agak sedikit kontradiktif.