Oleh : Husnul Khatimah
Mahasiswa Universitas Sulawesi Barat
Carut-marut sebuah lembaga diawali oleh konflik kepentingan yang dibawa secara personal, ujung tombak dari sebuah lembaga pemerintahan ketika hilangnya kepercayaan rakyatnya. Penambahan norma baru dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden yang diduga kuat menguntungkan salah satu paslon, telah membuka mata rakyat Indonesia tentang MK yang sudah jauh dari konsep keberadaan awal dari MK yang menjujung tinggi sifat independensi dan integritas tinggi.
Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’, MK berpendapat bahwa pengisian jabatan publik Presiden dan Wakil Presiden perlu melibatkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan pengawasan kebijakan nasional, terdapat jabatan publik yang syarat usia pencalonannya 40 tahun (Presiden dan Wakil Presiden) dan di bawah 40 (empat puluh) tahun yang sama-sama dipilih melalui pemilu seperti jabatan Gubernur (30 tahun), Bupati, dan Walikota (25 tahun), serta anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD (21 tahun). Artinya MK menginginkan meskipun usia capres dan cawapres tidak mencapai 40 tahun sepanjang pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials) dapat berpartisipasi dalam kontestasi calon Presiden dan Wakil Presiden.
Pendapat MK dalam putusannya sangat jauh dari wewenang dan penafsiran konstitusi itu sendiri. MK gagal menafsirkan makna dari UUD NKRI Tahun 1945 pada pasal 6 ayat 3 menyatakan bahwa: “Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 % dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20 % suara di setiap provinsi yang tersebar dilebih dari setengah jumlah provinsi diindonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.”
Hal ini dapat dimaknai bahwa dalam pemilihan capres dan cawapres merupakan keterwakilan dari seluruh rakyat indonesia bukan hanya sekadar popularitas dalam satu daerah apalagi didasarkan pada pejabat yang hanya menaungi 2-5 kecamatan atau ketika ada yang menjabat sebagai pejabat di daerah tertentu, penafsiran soal capres dan cawapres bukan hanya pembahasan tentang desa, kecamatan, kabupaten, atau provinsi tapi bicara soal Indonesia dari Sabang-Merauke.
Kemunduran demokrasi dalam tubuh MK terlihat dari kemunduran penafsiran konstitusi yang jelas dan terang bahwa MK adalah the guardian of constitutions yang seharusnya menafsirkan konstitusi dengan tidak didasari pada kepentingan politik apalagi kepentingan keluarga. (*)