OLEH: LISAA*
Kaum disabilitas masih mendapatkan diskriminasi. Bahkan di kampus sekalipun, yang merupakan ruang penyadaran tentang kemanusiaan.
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan utamanya dalam hal meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pada prinsipnya memperoleh pendidikan merupakan hak semua warga negara. Poin ini termaktub dalam Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Bunyinya: “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”.
Ini berarti, semua warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan tanpa terkecuali. Realitasnya, masih banyak anak bangsa yang masih kesulitan dalam memperoleh pendidikan. Salah satu contohnya adalah kaum difabel. Menurut data statistik, hanya terdapat 2,8 persen penyandang disabilitas yang berhasil menyelesaikan pendidikan hingga ke perguruan tinggi.
Dalam UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, di Pasal 10, menyatakan, “Hak pendidikan untuk penyandang disabilitas meliputi hak mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus”.
Secara regulasi, memang ideal. Sayang, tidak berjalan sebagaimana harapan. Ada beberapa faktor yang memengaruhi kaum difabel kesulitan dalam mengakses pendidikan, selain karena keterbatasan fisik, ekonomi, maupun lingkungan social. Faktor penghambat lainnya adalah kurangnya kesadaran pemerintah dalam memberikan fasilitas pendidikan.
Konteks fasilitas di sini berhubungan dengan aksesibilitas kaum difabel di dunia pendidikan. Masih banyak sarana dan prasarana yang belum ramah terhadap mereka, baik itu fasilitas di ruang publik, maupun di lingkungan seperti sekolah dan kampus. Salah satu perguruan tinggi yang menurut saya belum ramah terhadap kaum disabilitas adalah Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar
Fasilitas Diskriminatif
Di kampus 2 yang berlokasi di Gowa, tidak tersedianya fasilitas yang dapat memudahkan kaum disabilitas. Contohnya, trotoar yang tidak menggunakan ramp untuk difabel yang menggunakan kursi roda. Trotoar yang tidak menggunakan guilding block bagi tunanetra. Di dalam kampus, juga tidak terdapat lift yang tentunya akan menyulitkan difabel yang ingin berkuliah di ruangan lantai atas.
Artinya kampus tersebut memberikan batasan bagi kaum disabilitas. Padahal sudah menjadi tanggung jawab pihak kampus dan pemerintah untuk menyediakan fasilitas tersebut agar mereka mendapat hak yang sama dalam hal pendidikan.
Bukan hanya di lingkungan kampus saja, tetapi fasilitas publik yang ada di sekitar Kampus UIN Alauddin Makassar juga tidak ramah disabilitas. Pergerakan penyandang disabilitas masih terbatas dalam mengakses beberapa fasilitas umum, seperti transportasi umum, trotoar, toilet umum, dan masih banyak lagi.
Sebagaimana tercantum dalam UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Di pasal 5 dijelaskan, ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik, jasa publik, dan administratif yang salah satunya mencakup pendidikan.
Sudah seharusnya difabel mendapatkan fasilitas dan aksesibilitas seperti yang termaktub dalam undang-undang itu. Penyandang disabilitas berhak mendapatkan aksesibilitas. Sayang, kenyataan di lapangan, masih banyak fasilitas umum yang seolah-olah mempersulit aksesibilitas mereka. Salah satu contohnya di area sekitaran kampus yang tidak terdapat trotoar.
Butuh Aksi
Jangankan untuk kaum difabel, untuk pejalan kaki nondifabel saja tidak difasilitasi trotoar. Tidak dapat dimungkiri bahwa ini bukan sepenuhnya kelalaian pihak kampus, namun pemerintah juga harus andil dalam memberikan fasilitas tersebut. Tidak memberikan fasilitas yang layak terhadap kaum minoritas merupakan salah satu bentuk diskriminasi.
Padahal sudah jelas diatur dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Pemerintah Indonesia sangat lemah dalam mengawal hal-hal yang menunjang pendidikan, khususnya untuk kaum disabilitas. Bahkan untuk memaksimalkan fasilitas yang ramah difabel saja, tidak mampu dipenuhi. Undang-undang ada, namun implementasi jauh panggang dari api.
Pelayanan fasilitas layanan publik harus terealisasikan dengan baik oleh pemerintah karena sudah jelas payung hukum yang menaungi tentang pelayanan publik dan tentang penyandang disabilitas. Pemerintah harus memberikan kepastian hukum kepada masyarakat tentang pengadaan fasilitas tersebut. Untuk apa pengesahan undang-undang jika tidak dapat direalisasikan.
Selain itu, masyarakat juga harus lebih luwes dalam menyuarakan tentang hal ini, dengan harapan pemerintah lebih melek lagi mengenai hak yang harusnya dimiliki oleh kaum difabel. Masyarakat tidak seharusnya diam saja melihat kaum disabilitas yang seolah-olah terpinggirkan. Kita harus menunjukkan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial yang memang seharusnya saling berdampingan dan mendukung satu sama lain tanpa harus melihat adanya perbedaan. Dengan menyuarakan tentang hal tersebut sudah sangat membantu bagi kaum difabel. Langkah sekecil apa pun itu tetap berarti. (*)
*Penulis merupakan Mahasiswa jurusan Bahasa dan sastra inggris fakultas adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar